Koran Pertama Cirebon “Tjiremai”

DALAM sejarah pers di Indonesia, surat kabar “Bataviase Nouvelles”, terbit 7 Agustus 1744, surat kabar pertama di Indonesia, penerbitnya Gubernur Jenderal Van Imhoff. Izin terbitnya diberikan kepada Adjunct-Secretaris-General Jorden. Izin terbit enam bulan, kemudian diperpanjang menjadi tiga tahun. Pada tanggal 5 Agustus 1810 terbit “De Bataviasche Koloniale Courant”. Itu zaman Daendels-Inggris.

Penelusuran Radarcirebon.com di Depo Arsip Kota Cirebon, perkembangan pers di Jawa Barat, sejak awal menjadi catatan penting dan strategis dalam sejarah media cetak di Indonesia. Di beberapa daerah di Jawa Barat, baik di Bandung, Bogor, Tasikmalaya, Cirebon, Sukabumi, dan Banten, silih berganti kaum nasionalis menerbitkan surat kabar. Pengelolaan media secara profesional dikembangkan. Idealisme kejuangan mewarnai konten dari media. Media massa, khususnya surat kabar pada masa itu oleh kaum nasionalis digunakan dan dimanfaatkan sebagai alat perjuangan dalam menentang penjajahan Belanda. Karena itulah surat kabar sering berumur tidak panjang dan pimpinannya sering pula berurusan dengan polisi rahasia yang senantiasa mengawasi dan memata-matai kaum pergerakan nasional. Sangat terkenal waktu itu Polisi Rahasia Belanda, PID (Politieke Inlichtingen Dienst). Segala laporan PID menjadi dasar bagi Belanda untuk melakukan tindakan pelarangan penerbitan koran dan memenjarakan orang-orang surat kabar.

Penerbitan surat kabar yang berbahasa Indonesia/Melayu dan surat kabar berbahasa daerah Sunda secara kuantitatif berimbang jumlahnya. Surat kabar berbahasa Sunda tampaknya lebih akrab dengan masyarakat Jawa Barat terutama di daerah Priangan. Asas kedekatan komunitas tampaknya berpengaruh. Ada pula surat kabar yang berbahasa Belanda dan Tionghoa.

Jauh sebelum “Medan Prijaji” terbit, di Cirebon sudah ada surat kabar “Tjiremai” (1890) dalam bahasa Belanda, tertulis Zaterdag, 28 Februari. Koran berbahasa Belanda ini tersimpan di Perpustakaan Nasional RI.

Di Cirebon tercatat “Poesaka Cirebon” pimpinan Darma Atmadja, “Warta Tjirebon” dan “Soeloeh Ra’jat” pimpinan Anwar Djarkasih. Tahun 1932 tercatat “Soeara Poeblik” (Bandung) pimpinan Soejitno dan Liem Koen Hian.

Ada catatan yang tersisa dari perkembangan pers Jawa Barat. Setelah terjadinya pemberontakan “Kaoem Merah” November 1926, sejumlah surat kabar terbit di beberapa kota Jawa Barat, khususnya di Kota Bandung. Tercatat di Bandung terbit koran “Indonesia Moeda”. Terbit pula “Fikiran Ra’jat” yang sangat terkenal dengan tulisan Bung Karno, Indonesia Menggoegat. Pemikiran dan tulisan Bung Karno yang dimuat di “Fikiran Ra’jat” itulah yang membawanya ke sidang pengadilan dan divonis penjara.

Pada tahun 1935 di Bandung tercatat penerbitan koran “Nicork – Express”, koran stensilan pertama di Bandung kemudian menjadi harian dengan Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi Bratanata. Jajaran redaksinya Djamal Ali dan Ahmad Zainun Soetan Palindih. Selanjutnya terbit “Berita Priangan” dipimpin Ali Ratman dengan Pemred O.K. Yaman dan Bakri Soera Atmadja. Ada pula “Sepakat” dipimpin A. Hamid. Koran Indonesia dipimpin Moh. Koerdie dan Rochdi. “Berita Oemoem” lahir sebagai kelanjutan dari “Berita Priangan” dipimpin Soenarjo Gondokoesoemo dan Ali Tirto Soewirjo.

Ramainya penerbitan koran berbahasa Melayu/Indonesia di Jawa Barat, pada waktu bersamaan diikuti oleh penerbitan berbahasa Sunda. Penerbitan media cetak berbahasa Sunda di kala itu tidak dapat dipisahkan dari pergerakan kaum nasionalis di wilayah Jawa Barat.

Menurut catatan, surat kabar berbahasa Sunda pertama yang diterbitkan di Bandung adalah “Sora-Merdika” pimpinan Moh. Sanoesi. Tahun I No. 3 terbit pada tanggal 1 Mei 1920. Ada pula yang menyatakan, surat kabar pertama berbahasa Sunda itu adalah Soenda Berita, tetapi belum jelas kapan terbitnya. Di masa itu terbit pula “Mingguan Soenda Soemanget” diasuh Tunggono. Mingguan bahasa “Sunda Padjadjaran” dipimpin Haris Soema Amidjaja dan “Siliwangi” diasuh Ema Brata Koesoema. Tercatat pula data terbitnya “Pendawa”, pimpinan Gatot. Terbit pula berkala berbahasa Sunda, “Masa Baroe”, “Sapoedjagad”, “Simpaj” dan “Isteri Merdeka”. Ada pula penerbitan koran “Panglima” di Tasikmalaya.

Di zaman pendudukan Jepang semua surat kabar yang ada di Bandung dan Jawa Barat ditutup. Semuanya disatukan menjadi satu penerbitan yaitu surat kabar “Tjahaja” di bawah pengawasan Sendenbu. Pimpinan “Tjahaja” pada waktu itu ditunjuk Oto Iskandar Di Nata dan Bratanata.

Penghentian penerbitan seluruh surat kabar di Bandung dan sekitarnya oleh Jepang, kemudian dilebur menjadi surat kabar “Tjahaja”, merupakan bagian dari usaha Jepang untuk mengawasi penerbitan surat kabar secara ketat.

Setelah pendudukan Jepang berakhir, di Bandung tercatat ada penerbitan surat kabar “Soeara Merdeka” yang dipimpin oleh Boerhanoeddin. Begitu Belanda masuk membonceng Sekutu, “Soeara Merdeka” mengungsi ke Tasikmalaya. Pada tanggal 24 Maret 1946 terjadi peristiwa Bandung Lautan Api (BLA) yang membuat masyarakat Bandung mengungsi ke Bandung Selatan, bahkan sempat ke Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Koran “Soeara Merdeka” pun diungsikan ke Tasikmalaya untuk melanjutkan perjuangannya.
Setelah merdeka, berbagai koran berbahasa Sunda mulai bermunculan di beberapa daerah di Jawa Barat seperti “Sinar Majalengka” (1948) di Majalengka, “Warga” (1954) yang dipimpin oleh Eeng di Bogor, “Kalawarta Kudjang” (1956) di Bandung. Setelah proklamasi kemerdekaan, di masa “Negara Pasoendan” diterbitkan “Harian Persatoean” yang terakhir dikelola Djawatan Penerangan. (wb)

Sumber: Radar Cirebon

No comments

Komentar sedulur sekalian akan sangat berarti untuk perkembangan blog ini dan mudah-mudahan akan menambah wawasan kita bersama.
Nuhun.
\\Mohon maaf tidak semua pertanyaan mampu dijawab oleh Admin\\

Powered by Blogger.