DARI 'PER ASPERA AD ASTRA' KE CIREBON BARU (3)



Gemeente Ziekenhuis Oranje dan Raadhuis menjadi kebanggaan warga kota Cirebon (lihat koleksi ANRI. KIT. 184/38 dan 357/43), karena merupakan bangunan-bangunan yang dianggap paling megah dan indah di Jawa Barat (Kepentingan Ra’jat,  8 Pebruari 1933).

Di  balik  kebanggaan  dan  pengakuan  warga  kota  terhadap  prestasi  Gemeente   Cirebon, terdapat pencitraan yang lain atas kota Cirebon. Jalan-jalan di kota  Cirebon  secara  umum  belum dilengkapi dengan penerangan yang cukup dan jalur lalu lintas belum ditata dengan baik, sehingga sering terjadi kecelakaan. Selain itu, menurut  penuturan  seorang  pelancong,  jalan-jalan  di  kota Cirebon juga masih banyak yang “diserang penyakit cacar”, legok-legok tergenang air. Kondisi ini tidak memberi  kenikmatan  bagi  pengendara  kendaraan,  terutama  sepeda  motor  (Koemandang Masjarakat, 25 Mei 1940). Kondisi jalan yang  demikian  telah  menjadi  perhatian  dari  kalangan pers. Namun demikian, Gemeente Cirebon belum memberikan tanggapan atas kritik  itu  (Poesaka Tjirebon, 26 Djanuari 1939).

Berdasarkan   realitas   itu,   Abid, seorang warga kota   Cirebon,    mengatakan    bahwa gemeente telah berhasil mengubah wajah kota ini menjadi semarak, terutama  di  musim  kemarau. Namun  jika  musim  hujan,   wajah   kota   Cirebon   segera   berubah   menyerupai   samudra.   Ia menggambarkannya dengan ungkapan “ari ketiga kaya negara ari rendheng  kaya  segara”,  yang artinya saat  kemarau  laksana  negara,  saat  penghujan  seperti  samudra  (Kepentingan  Ra’jat,  8 Pebruari 1933). Wajah  kota  yang  kotor  menjadi  satu  permasalahan  yang  belum  dapat  diatasi sepenuhnya oleh Gemeente Cirebon.

Selain  itu,  pencurian,  pencopetan,  penipuan,  dan  pemerasan  serta  prostitusi  merupakan fenomena patologi sosial yang sering dijumpai dalam realitas perkotaan Cirebon.  Pencurian  tidak
hanya  dilakukan  terhadap   rumah-rumah   Tionghoa,   tetapi   juga   terhadap   rumah   penduduk bumiputera dan kantor-kantor pemerintah (Koemandang Masjarakat, 6 dan 15 Juli 1939; Poesaka Tjirebon, 8 Desember 1938). Pencopetan merupakan bentuk kriminalitas yang frekuensinya selalu meningkat  pada  setiap  bulan  puasa  (Poesaka   Tjirebon,   17   November   1938).   Kasus-kasus penipuan biasanya berupa penggelapan dan penggandaan uang (Kepentingan  Ra’jat,  17  Pebruari 1933). Kasus-kasus pemerasan biasanya terjadi di pelabuhan, perkebunan, pabrik, dan tanah-tanah sewaan (Koemandang Masjarakat, 6 Juli 1939). Sementara itu,  pelacuran  merupakan  salah  satu jenis  “kekotoran”  kota  yang  meresahkan  masyarakat  Cirebon.   Para   pelacur   berkeliaran   di sejumlah tempat di kota Cirebon (Kepentingan Ra’jat, 8 Maret 1933). Walaupun  beberapa  upaya telah dilakukan untuk mengatasi kriminalitas dan membatasi perluasan  prostisusi,  namun  hal  itu tampaknya  belum  efektif  untuk  mengatasi  masalah-masalah  patologi  sosial  di  kota  Cirebon. Terjadinya kriminalitas dan prostitusi merupakan bukti bahwa Gemeente Cirebon  belum  berhasil meningkatkan kesejahteraan warga kota Cirebon (Koemandang Masjarakat, 6 dan 22 Juli 1939).

Pencitraan  lain   terhadap   kota   Cirebon   itu   muncul   karena   dalam   perkembangannya Gemeente Cirebon tidak secara konsisten  menjalankan  kebijakan-kebijakan  yang  telah  berhasil mengubah kondisi dan citra  kota  Cirebon.  Sejak  1930-an  sampai  akhir  kekuasaan  pemerintah kolonial Belanda, tidak banyak dijumpai  program  penataan  kota  secara  fisik,  yang  antara  lain disebabkan  oleh  krisis  malaise  yang  sedang  melanda  Hindia  Belanda.   Selain   menyebabkan Gemeente Cirebon tidak bisa menjalankan program pembangunan, krisis juga telah  menyebabkan rakyat berada dalam posisi yang terpuruk. Dalam keadaan ini, kebutuhan mendasar yang dianggap penting  dan  mendesak  oleh  rakyat   adalah   yang   berkaitan   secara   langsung   dengan   usaha mempertahankan kelangsungan  hidup.  Kemajuan  yang  dicapai  Gemeente  Cirebon  seolah-olah menjadi  tidak  berarti.  Rakyat  merasakan  kebijakan   Gemeente   Cirebon   sebagai   beban   dan pengabaian   hak-hak   rakyat.   Pada   akhirnya,   citra   Cirebon   ditentukan    oleh    siapa    yang berkepentingan  membangun  citra  itu,  yang  pijakannya  dapat  ditemukan  pada  peristiwa  yang dianggap sangat berarti bagi kehidupan pihak yang membangun citra tersebut.3. “Cirebon Baru”: Pembentukan Identitas dan Citra Baru (1946-1950-an)

Gambaran keadaan Cirebon pada masa akhir kekuasaan kolonial Belanda dengan lingkungan yang kumuh sebagaimana dipaparkan di atas merupakan  bagian  yang  belum  sama  sekali  hilang  dari realitas Cirebon pada masa awal kemerdekaan. Jepang, dalam  masa  pendudukannya  yang  relatif pendek dan lebih mementingkan pertahanan perang, tidak sempat mengubah wajah  Cirebon  yang kumuh selain dengan membangun lapangan terbang Jatiwangi (Buku Peringatan  50  Tahun  Kota Besar  Tjirebon,  1956:  58).  Namun  keberadaan  lapangan   terbang   tersebut,   yang   umumnya dipandang sebagai  simbol  kemajuan  dan  keberhasilan  sebuah  kota,  tidak  menutup  kenyataan bahwa kota dan warga kota  Cirebon  sesungguhnya  belum  beranjak  cukup  jauh  dari  gambaran
keadaan yang muncul pada masa kolonial Belanda.

Lukisan tentang keadaan umum kota Cirebon yang jauh  dari  kesan  bersih  dapat  dijumpai dalam sebuah tulisan yang disusun oleh O.K. Yaman. la mengatakan bahwa “pemandangan”  kota Cirebon didominasi oleh kantor-kantor pemerintah dan  swasta,  rumah-rumah  penginapan,  toko-
toko,  sekolah-sekolah,  dan  rumah-rumah  tinggal  di  sepanjang  tepi  jalan   utama   yang   tidak terpelihara. Kesadaran warga kota Cirebon terhadap kebersihan  dan  kesehatan  lingkungan  yang
rendah  tercermin  dari  keadaan  pekarangan  rumah  yang   kotor   akibat   kebiasaan   membuang sungkrah yang sembrono. Di sepanjang jalan-jalan utama di kota Cirebon mudah  ditemukan  para pedagang berjualan tidak pada tempat  yang  ditentukan.  Mereka  membangun  tanpa  izin  kedai-kedai di atas tanah yang sebenamya bukan untuk lokasi berjualan.  Berbagai  jenis  makanan  yang dijual  di  kedai-kedai  dan  rumah-rumah  makan   disajikan   tanpa   memperhatikan   kebersihan.

Kesemrawutan kota Cirebon juga tampak dari pemasangan reklame tanpa izin  dan  di  sembarang tempat di jalan-jalan utama (Repoeblik, 22 Djanuari 1947). Menurut Yaman, semua itu merupakan akibat dari pemahaman  tentang  kemerdekaan  yang keliru. Merdeka dimaknai sebatas sebagai kesempatan untuk bertindak sekehendak hati.  Berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kotapraja  Cirebon  untuk  menata  dan  menciptakan keindahan  kota,  mendorong  kegiatan  perekonomian,  dan  meningkatkan  kesehatan   penduduk belum dipahami  dengan  baik.  Sebaliknya,  mereka  justru  melakukan  pelanggaran  terhadapnya dengan alasan bahwa aturan-aturan  itu  lebih  banyak  mendatangkan  kesulitan  bagi  warga  kota Cirebon. Bagi Yaman, keadaan dan sikap warga  kota  Cirebon  yang  semacam  itu  menunjukkan bahwa mereka belum mempunyai kesadaran sebagai bangsa  yang  telah  merdeka  (Repoeblik,  22 Djanuari 1947).

Oleh  karena  itu,  suatu  yang  dianggap  mendesak   untuk   dilakukan   dalam   membentuk identitas  Cirebon  pascakolonial   adalah   menghilangkan   kekumuhan   lingkungan   kota   yang
dikatakannya sebagai “sisa Belanda dan restan Jepang” dan  sekaligus  membangkitkan  kesadaran warga kota Cirebon  sebagai  manusia  baru,  yakni  manusia  yang  mempunyai  kesadaran  penuh terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang telah merdeka (Repoeblik, 23 Djanuari 1947). Kemerdekaan yang telah diperjuangkan menghendaki kesempurnaan negara dan  warganya dalam  segala  aspek  kehidupan.  Sebagai  bangsa  yang  merdeka,   warga   kota   Cirebon   harus
mengenal kesehatan, kebersihan, keamanan, ketertiban,  keindahan,  kecerdasan,  keluhuran  budi, dan kemajuan dalam segala bidang. Yaman mengonsepsikan kota dan warga kota Cirebon  setelah kemerdekaan dengan menyebutnya sebagai “Cirebon Baru” (Repoeblik, 22 Djanuari 1947).

Dengan berkaca pada kebijakan pemerintah  kolonial  terhadap  kota  Jakarta  dan  Bandung, maka  untuk  mewujudkan  “Cirebon  Baru”  harus  dimulai  dengan  usaha  “memperindah”   kota Cirebon. Secara empiris keindahan kota ditunjukkan oleh  kemunculan  bangunan  baru,  misalnya
monumen yang dapat mempercantik lingkungan, dan penataan nama  jalan  dengan  menggunakan nama-nama yang familiar dan sesuai dengan semangat  zaman.  “Memperindah”  kota  juga dapat dipahami  secara  simbolis  sebagai  usaha   untuk   memperbaharui   jiwa   dan   hidup   warganya
(Repoeblik, 25 Januari 1947).

Setahun  setelah  proklamasi  kemerdekaan  Indonesia,  di  kota Cirebon   didirikan   sebuah monumen berbentuk tugu di perempatan Jalan Kejaksan untuk memperingati  peristiwa  itu.  Oleh karena   tugu   itu   dibangun   untuk   memperingati   kemerdekaan   Indonesia,    orang    Cirebon menyebutnya sebagai Tugu Proklamasi.  Warga  kota  Cirebon  juga  biasa  menyebutnya  sebagai Tugu Kejaksan, karena tugu tersebut terletak di perempatan Jalan  Kejaksan  (Wawancara  dengan
Muhammad Hadun Sanusi, 29 Januari 2005).

Tugu Proklamasi bukan sekedar sebuah tonggak hampa makna, tetapi  merupakan  artikulasi dari kelompok tentara, pejuang, dan tentara pelajar serta  pimpinan  pemerintahan  yang  didukung berbagai  pihak,  yang  menyatakan  dan  memperoleh  pengakuan  telah  berperan  penting  dalam kemerdekaan dan kemudian memegang kendali atas usaha untuk membentuk dan menjaga ingatan kolektif masyarakat terhadapnya.

Menurut  Heynen  (1999:  375),  monumen   merupakan   produk   interpretasi   sejarah   dan identitas kultural dari kelas yang dominan yang  layak  dan  bahkan  harus  diketahui  oleh  publik.
Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa tugu itu didirikan di  perempatan  Jalan  Kejaksan  yang merupakan jalan utama di Cirebon. Pemilihan  perempatan  sebagai  ruang  untuk  mengumumkan gagasan itu tentu bukan tanpa alasan. Ruang bukan hanya  dipahami  sebagai  sesuatu  yang  boleh digunakan secara bebas, melainkan lebih dilihat sebagai komoditas yang karakternya  harus  dicari dalam  hubungan  antara  pemanfaatan  ruang  dan  latar  kultural   masyarakatnya.   Implikasinya, pemanfaatan sebuah ruang tidak hanya berkaitan dengan  persoalan  apakah  pengembangan  yang berlangsung di situ dilakukan dengan tujuan yang sepenuhnya disadari, melainkan  berkaitan  pula
dengan penggunaan ruang itu dalam cara yang berbeda atau bahkan berada di luar bentuk  asalnya (Andreoli, 1996: 287-288).

Sesuai dengan sistem klasifikasi  simbolik  mancapat,  perempatan  merupakan  titik  tengah atau pusat yang mempertemukan jalan-jalan lainnya dari  empat  arah  mata  angin.  Dalam  sistem klasifikasi   ini   pusat   dihubungkan   dengan   persepsi   tentang   kemantapan   dan   keselarasan (Koentjaraningrat, 1984: 431). Orang-orang dari berbagai tempat dengan  bermacam  kepentingan dan latar belakang bertemu di titik pusat. Saat datang mereka bisa menjadi siapa  saja  atau  bukan menjadi siapa pun, tetapi di pusat kedirian mereka terlebur. Mereka  menemukan  dirinya  sebagai seseorang yang “baru” di dalam Tugu Proklamasi, sebagai bagian dari “seluruh kekuatan yang ada
di  Cirebon”  yang  telah   tersentuh   dan   terliputi   “semangat   nasionalisme”.   Dengan   begitu, perempatan jalan memainkan dua peran yang berbeda  dalam  saat  yang  bersamaan.  Di  satu  sisi perempatan merupakan zona bebas yang boleh dimasuki oleh siapa saja. Namun di sisi lain, dalam waktu yang bersamaan,  ia  segera  mengikat  mereka  dengan  menusukkan  suatu  kekuatan  yang memancar dari titik pusat ke dalam ingatan kolektif  warga  masyarakat  yang  berada  di  keempat
penjuru  mata angin melalui sebuah peringatan bahwa Indonesia sudah merdeka. Pada  titik  inilah tugu peringatan itu dapat dilihat sebagai reaktualisasi pengalaman kolektif (Kartodirdjo, 1993: 57)

masyarakat Cirebon yang dijadikan landasan pembentukan identitas kota Cirebon pascakolonial. Pemanfaatan ruang untuk pembentukan identitas kota  Cirebon  pascakolonial  juga  tampak dalam penamaan jalan. Pada  awal  kemerdekaan  (sekitar  tahun  1946)  di  kota  Cirebon  muncul nama Jalan Merdeka yang menggantikan Jalan Kali Bacin, dan  setahun  kemudian  muncul  nama jalan yang menggunakan nama tokoh pahlawan lokal, yaitu  Jalan  Kusnan  dan  Jalan  Suratno  di Kebon Baru (Wawancara dengan Muhammad Hadun Sanusi, 29 Januari 2005  dan  dengan  T.  D. Sudjana, 30 Januari 2005). Sejak 1917  Kali  Bacin  yang  semula  merupakan  salah  satu  sumber kekumuhan lingkungan menjadi salah  satu  kawasan  penting  di  kota  Cirebon  setelah  area  kalitersebut diurug dan dilengkapi dengan jalan, gedung-gedung, dan pabrik. Sementara  Kebon  Baru merupakan kompleks pemukiman  orang-orang Belanda di kota Cirebon. Dengan  demikian,  Kali Bacin dan Kebon Baru merupakan sebagian dari simbol eksistensi kekuasaan pemerintah  Kolonial  Belanda di kota Cirebon. Oleh karena itu, bisa dipahami jika pembentukan  simbol  ke-Indonesia-an di kota  Cirebon  diarahkan  ke  tempat-tempat  yang  di  dalamnya  memuat  simbol  kolonialisme dengan mengganti nama Jalan Kali Bacin  menjadi  Jalan  Merdeka  dan  memberi  nama  jalan  di Kebon Baru yang merupakan bekas pemukiman orang-orang Belanda dengan menggunakan nama tokoh-tokoh lokal yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan, yaitu Kusnan dan Suratno.

Menurut Sanusi,  penamaan  jalan-jalan  di  kota  Cirebon  dilakukan  dengan  “mengacu  ke Jakarta”  (Wawancara  dengan  Muhammad  Hadun  Sanusi,  29  Januari  2005).  Menurut  Heine- Geldern  (1972),  ibukota  negara  selain  merupakan  pusat  kegiatan  politik  juga  menjadi  pusat kebudayaan dan pusat magis  dari  seluruh  wilayah  negara  itu.  Jarak  suatu  tempat  atau  daerah dengan ibukota negara menunjukan  tingkat  keberadaban  penduduk  di  daerah  tersebut.  Sejalan dengan pandangan ini, pengabadian peristiwa proklamasi dan hal-hal lain baik menyangkut  orang maupun kejadian yang berhubungan dengannya merupakan usaha untuk menjadikan peristiwa  itu sebagai bagian  dari  “pengalaman  dekat”  suatu  komunitas  (Geertz,  1992).  Peristiwa  itu  dapat disaksikan dan hadir dalam kehidupan warga kota Cirebon melalui Jalan Merdeka,  Jalan  Kusnan, dan Jalan Suratno yang selalu mereka lewati. Jalan-jalan tersebut  membuat  peristiwa  proklamasi di Jakarta, yang secara spasial berada di luar Cirebon,  hadir  dalam  kehidupan  sehari-hari  warga kota  Cirebon  dan  jarak  spasial  menjadi  tidak  berarti.  Dengan  cara  itu  warga   kota   Cirebon mengasosikan  dirinya  dengan,  dan  membayangkan  dirinya  menjadi   bagian   dari,   komunitas Indonesia (Anderson, 2001).

Dari uraian tentang pembangunan Tugu Proklamasi dan penamaan  jalan  telah  ditunjukkan bahwa keduanya merupakan simbol identitas kota Cirebon  pascakolonial.  Makna  simbol-simbol tersebut mengacu kepada proklamasi kemerdekaan dan  dengan  demikian  Tugu  Proklamasi  dan jalan yang diberi nama pahlawan merupakan simbol keindonesiaan. Melalui simbol itu warga kota Cirebon menyatakan dirinya sebagai manusia  baru,  yakni  manusia  yang  mempunyai  kesadaran terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara  yang  telah  merdeka,  yang  dikonsepsikan sebagai “Cirebon Baru”.

“Cirebon  Baru”  mencakup  pembangunan  jiwa  dan  hidup  baru  yang  dilakukan  melalui penataan fisik kota untuk menghilangkan  kekumuhan  lingkungan  kota  dan  penataan  sikap  dan mental masyarakat. Konsepsi  tersebut   telah   diimplementasikan   oleh   pemerintah   Kotapraja Cirebon melalui program pembangunan baik dalam bentuk penataan fisik kota, penyediaan sarana dan  prasarana  yang diperlukan  warga  kota,  maupun  pengembangan  sikap  dan  mental  untuk membedakan  warga  kota   Cirebon   pascakolonial   dari   masa   sebelumnya.   Pemerintah   juga membangun berbagai fasilitas untuk menyelenggarakan layanan  publik  dalam  bidang  kesehatan masyarakat, pendidikan, kesejahteraan sosial kaum miskin, kebersihan dan kesehatan  lingkungan (Buku Peringatan 50 Tahun Kota Besar Tjirebon, 1956). (*)

Dicopy/disalin dari Tulisan asli berjudul:
Dari Per Aspera Ad Astra ke Cirebon Baru
Penulis: Dhanang Respati Puguh

1 comment:

  1. Jakarta, Aktual.com — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus ‘mempercantik’ area-area yang akan dijadikan pusat peringatan hari Kemerdekaan RI ke-70 di Jakarta. Namun, nada kecewa justru datang dari Wakil Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat saat melihat kondisi kawasan Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat.

    Taman tersebut tampak kumuh dan kotor. Bahkan tiang bendera yang mestinya memiliki tinggi 17 meter, ternyata hanya setinggi 10 meter.

    Wagub Djarot Kecewa Tugu Proklamasi Kotor

    ReplyDelete

Komentar sedulur sekalian akan sangat berarti untuk perkembangan blog ini dan mudah-mudahan akan menambah wawasan kita bersama.
Nuhun.
\\Mohon maaf tidak semua pertanyaan mampu dijawab oleh Admin\\

Powered by Blogger.