Wisata Cirebon – Makam Sunan Gunung Djati
Makam Sunan Gunung Jati (photo: hotelpadmaindah.com) |
Memasuki kompleks pemakaman anda akan melihat Balemangu Majapahit yang berbentuk bale-bale berundak yang merupakan hadiah dari Demak sewaktu perkawinan Sunan Gunung Djati dengan Nyi Mas Tepasari, putri dari Ki Ageng Tepasan, salah seorang pembesar Majapahit.
Masuk lebih kedalam anda akan melihat Balemangu Padjadjaran, sebuah bale-bale besar hadiah dari Prabu Siliwangi sebagai tanda penghargaan pada waktu penobatan Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Kasultanan Pakungwati (cikal bakal kraton di Cirebon).
Makam Sunan Gunung Jati yang terletak di bukit Gunung Sembung hanya boleh dimasuki oleh keluarga Kraton sebagai keturunannya selain petugas harian yang merawat sebagai Juru Kunci-nya. Selain dari orang-orang yang disebutkan itu tidak ada yang diperkenankan untuk memasuki makam Sunan Gunung Jati. Alasannya antara lain adalah begitu banyaknya benda-benda berharga yang perlu dijaga seperti keramik-keramik atau benda-benda porselen lainnya yang menempel ditembok-tembok dan guci-guci yang dipajang sepanjang jalan makam. Keramik-keramik yang menempel ditembok bangunan makam konon dibawa oleh istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tien. Banyak keramik yang masih sangat baik kondisinya, warna dan design-nya sangat menarik. Sehingga dikhawatirkan apabila pengunjung bebas keluar-masuk seperti pada makam-makam wali lainnya maka barang-barang itu ada kemungkinan hilang atau rusak.
Ada 9 pintu yang terdapat dalam Makam Sunan Gunung Jati, yaitu 1)Pintu Gapura, 2)Pintu Krapyak, 3)Pintu Pasujudan, 4)Pintu Ratnakomala, 5)Pintu Jinem, 6)Pintu Rararoga, 7)Pintu Kaca, 8)Pintu Bacem dan 9)Pintu Teratai. Para pengunjung atau peziarah hanya diperkenankan masuk sampai di pintu ke-5 saja.
Para peziarah di Makam Sunan Gunung Jati hanya diperkenankan sampai dibatas pintu serambi muka yang pada waktu-waktu tertentu dibuka dan dijaga selama beberapa menit kalau-kalau ada yang ingin menerobos masuk. Dari pintu yang diberi nama Selamat Tangkep itu terlihat puluhan anak tangga menuju Makam Sunan Gunung Jati.
Para peziarah umum diharuskan masuk melalui gapura sebelah Timur dan langsung masuk pintu serambi muka untuk berpamit kepada salah seorang Juru Kunci yang bertugas. Setelah diijinkan maka peziarah umum dapat menuju ke pintu barat yaitu ruang depan Pintu Pasujudan.
Uniknya didalam kompleks makam Sunan Gunung Jati terdapat kompleks makam warga Tionghoa dibagian barat serambi muka yang dibatasi oleh pintu yang bernama Pintu Mergu. Lokasinya disendirikan dengan alasan agar peziarah yang memiliki ritual ziarah tersendiri seperti warga Tionghoa tidak akan terganggu dengan ritual ziarah pengunjung makam.
Makam Sunan Gunung Jati dibersihkan tiga kali seminggu dan selalu diperbaharui dengan rangkaian bunga segar oleh Juru Kunci yang bertugas. Penggantian bunga dilakukan setiap hari Senin, Kamis dan Jumat. Pada hari Senin dan Kamis petugas akan masuk dari pintu yang disebut dapur Pesambangan, sedangkan pada hari Jumat petugas akan masuk dari pintu tempat masuknya peziarah disiang hari.
Jumlah petugas Makam Sunan Gunung Jati seluruhnya ada 108 orang yang terbagi dalam 9 kelompok masing-masing 12 orang berjaga-jaga secara bergiliran selama 15 hari yang diketuai oleh seorang Bekel Sepuh dan Bekel Anom (merupakan tambahan setelah Kraton Cirebon dipecah menjadi Kraton Kasepuhan dan Kanoman). Mereka yang mengemban tugas tersebut umumnya karena meneruskan tugas dari ayah atau saudara yang tidak mempunyai anak atau bisa juga karena mendapat kepercayaan dari yang berhak. Pada saat mereka diberi amanat mengemban tugas itupun ada serangkaian upacara atau selametan yang harus dilakukan oleh masing-masing orang. Seluruh petugas makam termasuk para Bekel dipimpin oleh seorang Jeneng yang diangkat oleh Sultan.
Adapun riwayat dibalik jumlah 108 berawal dari Pemerintahan Sunan Gunung Djati di Kraton Pakungwati yang pada suatu hari menangkap perahu yang terdampar dengan seluruh penumpang berjumlah 108 orang seluruhnya berasal dari Keling (Kalingga) dan berada dibawah pimpinan Adipati Keling. Orang-orang Keling ini kemudian menyerahkan diri dan mengabdi kepada Sunan Gunung Jati dan dipercaya untuk menetap dan menjaga daerah sekitar pemakaman sampai ke anak cucu. Sebagian masyarakat yang bermukim disekitar kompleks makam adalah keturunan orang-orang Keling tersebut. Oleh karena itu ke-12 orang yang bertugas tersebut mengemban tugas sesuai dengan jenjangnya sebagai awak perahu nelayan seperti juru mudi, pejangkaran dan lain sebagainya.
Selain Sultan dan Juru Kunci yang ditunjuk maka tidak ada lagi orang yang diperkenankan masuk ke makam Sunan Gunung Djati. Konon di sekitar makam Sunan Gunung Djati terdapat pasir Malela yang dibawa langsung dari Mekkah oleh Pangeran Cakrabuana. Pasir ini tidak diperbolehkan dibawa keluar dari kompleks pemakaman. Para Juru Kunci sendiri diharuskan membersihkan kaki-nya sebelum dan sesudah dari makam agar tidak ada pasir yang terbawa keluar. Pelarangan ini sesuai dengan amanat dari Pangeran Cakrabuana sendiri, mungkin karena pada jaman dahulu upaya untuk membawa Pasir Malela dari Mekkah ke kompleks pemakaman teramat berat dan sulit.
Tak jauh dari bangunan makam terdapat masjid yang diberi nama Masjid Sang Saka Ratu atau Dok Jumeneng yang konon dulunya digunakan oleh orang-orang Keling yang pernah memberontak pada Sunan Gunung Djati. Didalam masjid kita bisa melihat Al-Quran yang berusia ratusan tahun dan dibuat dengan tulisan tangan (bukan cetakan mesin).
Ada beberapa sumur disekitar bangunan masjid, yaitu Sumur Kemulyaan, Sumur Djati, Sumur Kanoman dan Sumur Kasepuhan. Masjid ini sendiri memiliki 12 orang Kaum yang pengangkatannya melalui prosedur Kesultanan dengan segala tata cara dan tradisi lama yang masih dijalankan. Ke-12 orang tersebut terdiri dari 5 orang Pemelihara, 4 orang Muadzin, 3 orang Khotib ditambah dengan seorang penghulu atau Imam. Kecuali penghulu mereka bertugas secara bergilir setiap minggu dengan formasi 1 orang pemelihara, 1 orang Muadzin dan 1 orang Khotib.
Ada lagi legenda para wali yang berhubungan dengan Sumur Jalatunda yang berasal dari jala yang ditinggalkan Sunan Kalijaga saat dirinya diperintahkan mencari sumber mata air untuk berwudhu-nya para wali yang pada saat itu sedang mengadakan pertemuan. Sumur Jalatunda ini dikenal dengan Zam-zam-nya Cirebon.
Mengunjungi kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati sebetulnya tidak terlalu sulit. Lokasi-nya tidak jauh dari kota Cirebon. Jalan masuknya juga bisa dilalui oleh mobil dan sudah tersedia lahan parkir yang cukup luas.
Yang sangat disayangkan adalah banyaknya penduduk setempat yang meminta donasi tidak resmi kepada pengunjung atau peziarah yang datang ke makam. Dari mereka yang meminta dengan suka rela sampai dengan mereka yang menggebrak meja tempat diletakkannya kotak donasi untuk menakut-nakuti pengunjung apabila mereka menolak untuk membayar. Yang meminta donasi tidak hanya orang dewasa, melainkan anak-anak balita sampai kaum tua renta juga setia mengikuti bahkan ada yang sambil menarik-narik baju pengunjung. Macam-macam alasan yang digunakan, dari donasi untuk pemeliharaan makam sampai sumbangan sebagai ‘pembuka pintu’. Kalau anda datang bersama dengan rombongan peziarah, bersiaplah menghadapi puluhan peminta sumbangan yang sudah berbaris panjang dari parkiran anda masuk sampai ke pintu gerbang peziarah.
Sangat mengesalkan sebetulnya. Pemandu memberitahu agar kami ‘jangan memulai’ memberikan donasi setiap kali diminta karena hanya akan membuat peminta donasi lain akan memburu. Walaupun kami sudah berusaha membatasi jumlah donasi yang kami keluarkan dengan terus menerus mengatakan “tidak” tetap saja kami harus merogoh kantong beberapa kali.
Upaya menertibkan konon sudah pernah ada. Sultan pernah memerintahkan mereka untuk berhenti meminta donasi tidak resmi tersebut, namun seminggu-dua minggu kemudian timbul kembali.
Alangkah baiknya apabila pihak Kraton yang berwenang atau pemerintah daerah mulai memikirkan cara untuk menertibkan mereka karena bisa jadi akan merusak citra tempat pemakaman Sunan Gunung Jati ini dan umat muslim pada umumnya. Aktivitas meminta-minta dengan paksa yang dilakukan kaum dewasa dan orang tua akan memberikan contoh tidak baik bagi anak kecil warga sekitar. Tak heran apabila mereka nantinya juga menjadi peminta-minta. Walaupun Sunan Gunung Jati pernah bertutur “Ingsun titip tajug lan fakir-miskin” yang artinya “Aku titipkan masjid/musholla dan fakir miskin” tetapi saya yakin bukan seperti inilah perwujudannya.
Sumber : Hotel Padma Indah
Post a Comment