Cirebon Oh Cirebon

Wilayah Cirebon (Kabupaten dan Kota)
Cirebon, wilayah yang terletak di Propinsi Jawa Barat ini, adalah salah satu tempat wisata yang punya potensi dikembangkan. Kota yang telah berdiri sejak awal abad ke-15 ini merupakan tempat pertama kali penyebaran agama Islam dilakukan di Jawa.

Hingga kini banyak peninggalan masa lalu yang bernafaskan keislaman. Tidak hanya itu, Cirebon juga punya makanan khas bahkan hewan langka yang hanya bisa ditemui di Cirebon. Kura-kura ini adalah kura-kura langka yang hanya terdapat di Cirebon. Itupun tidak di sembarang tempat. Hanya ada di Desa Belawa, di Kecamatan Lemah Abang, Kabupaten Cirebon, atau sekitar 200 kilometer dari kota Cirebon.

Biasa disebut dengan Kura-Kura Belawa, dengan nama latin Aquatic Tortose Ortilia Norneensis. Di kolam penampungan yang cukup sederhana, sedikitnya 20 kura-kura bertempurung unik ini hidup dan berkembang biak. Dan karena langkanya, Kura-kura Belawa termasuk hewan yang dilindungi.

Adanya kura-kura yang bertempurung khas ini juga menumbuhkan cerita rakyat setempat. Konon, sang kura-kura berasal dari lembaran kertas, yang bertuliskan ayat suci Al-Quran. Sekitar abad 17, hiduplah seorang pemuda bernama Jaka Saliwah. Ia hendak mencari ayahnya, dengan bertanya kepada semua orang, yang mengenal ayahnya, termasuk kepada teman sang ayah, Syech Datuk Putih.


Oleh Syech Datuk Putih dijelaskan bahwa Allah Maha Besar, dan akan memberikan keajaiban bila ia menghendaki. Tiba-tiba, lembaran kertas bertuliskan ayat Al-Quran bertebaran jatuh ke dalam kolam, dan berubah wujud menjadi kura-kura. Berdasarkancerita itu, lalu banyak orang yang mengkeramatkan kura-kura tersebut. Bahkan diantaranya datang dengan tujuan meminta sesuatu agar keinginannya tercapai.

Selain cerita keramat, keberadaan Kura-kura Belawa juga dilindungi oleh sebuah mitos. Ia tidak dapat dibawa keluar dari Desa Belawa. Percaya atau tidak, apabila ada yang mencoba membawa keluar kura-kura itu, maka orang yang bersangkutan akan mendapat musibah.

Selain berada di kolam yang dibangun Dinas Pariwisata Daerah, Kura-kura Belawa juga hidup di kolam-kolam masyarakat setempat. Mereka dipelihara dengan diberi pangan, berupa ayam, ikan asin dan singkong. Kura-kura jenis ini lebih senang hidup di air yang berlumpur. Bisa seharian mereka berendam di dalamnya, sehingga tak heran bila pengunjung yang datang agak sulit melihatnya.

Selain keberadaannya dilindungi, lingkungan sekitar Kura-kura Belawa pun telah dijadikan cagar alam oleh pemerintah, dan menjadi salah satu obyek wisata. Sayangnya, tidak terawat dengan baik.Selain Cagar Alam Cikuya Belawa, pengunjung juga bisa melihat sebuah sumur tua, yang airnya tidak pernah kering, meski musim kemarau sekalipun.


Kura-kura Belawa/ Foto:www.bkipm.kkp.go.id

Walau tidak banyak didatangi pengunjung, namun obyek wisata ini termasuk salah satu pendapatan asli daerah, sekitar 10 persen. Tak heran, patung kura-kura juga menjadi simbol Desa Belawa, yang berpenduduk sekitar 3500 jiwa.

Dari Belawa, kami mampir ke Plangon, Desa Babakan Sumber, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon. Hanya menempuh sekitar 20 menit perjalanan, atau sekitar 8 kilo meter dari pusat kota Cirebon.Di Plangon, sedikitnya 200 ekor monyet langsung menyambut pengunjung yang datang.

Menurut cerita setempat, monyet-monyet ini dulunya merupakan peliharaan Pangeran Panjunan, seorang pangeran dari Jedah, yang datang ke tanah Jawa, untuk mensiarkan agama Islam. Setelah 500 tahun berlalu, ternyata keturunan monyet peliharaan Pangeran Panjunan, masih mendiami tempat nenek moyangnya, yang terletak di daerah pegunungan ini. Mereka terus berkembang biak hingga sekarang.

Sejak 16 tahun lalu, Plangon telah dijadikan obyek wisata oleh pemerintah. Pengunjungnya pun cukup ramai, karena selain melihat tingkah laku monyet-monyet, para pengunjung juga melakukan ziarah ke makam Pangeran Panjunan, yang terletak di puncak Plangon. Obyek wisata ini biasanya ramai dikunjungi pada tanggal 27 Rajab, hari setelah lebaran, dan hari-hari libur nasional lainnya.

Monyet di Plangon/ Foto: disparbud.jabarprov.go.id

Beginilah bila Kesultanan Kanoman mengadakan pernikahan. Mempelai wanitanya, Putri Arimbi. Adik Sultan Kanoman keduabelas, Sultan Raja Muhammad Emirudin.Ini memang saat yang istimewa bagi Kesultanan Kanoman. Terlebih karena perkawinan di Keraton Kanoman terakhir diselenggarakan 25 tahun yang lalu. Acara berlangsung di ruang Prabayaksa Mande Mastaka, yang terletak di dalam pendopo Jinem, tempat dimana dulunya para sultan menerima tamu agung.

Kedua pengantin menggunakan mahkota kerajaan, mahkota pengantin pria bernama Kresna, dan mahkota perempuan bernama Suri. Warna hijau yang mendominasi pakaian kebesaran ini merupakan cerminan dari pengaruh agama Islam, yang begitu kental di Cirebon, khususnya di Keraton Kanoman. Pakaian kebesaran ini, sekarang telah diadaptasi oleh masyarakat umum, menjadi pakaian pengantin Cirebon.

Layaknya sebuah pesta, undangan yang hadir, dihibur oleh berbagai kesenian berupa tarian dan musik khas Cirebon.Yang juga tampil istimewa, adalah tari Topeng Panglima, yang dibawakan adik mempelai wanita sendiri.

**

Keraton Kanoman (2010)/ Wikipedia
Kereta kencana Paksi Naga Liman/ Wikipedia
Kraton Kanoman yang terletak di tengah-tengah pasar, adalah satu dari 4 kraton yang ada di Cirebon. Ke-4 kraton ini merupakan pecahan dari kerajaan Cirebon yang didirikan Sunan Gunung Jati. Bisa dibilang, hampir semuanya kini dalam keadaan memprihatinkan. Padahal tiap kraton menyimpan bukti sejarah kejayaan sultan Cirebon masa lalu. Di Keraton Kanoman misalnya, ada sebuah kereta kencana yang tersohor, terutama bagi mereka yang mengerti sejarah.

Paksi Naga Liman, itulah sebutan bagi sang kereta kencana, yang dibuat pada tahun 1428. Dari bentuk dan namanya, terlihat bahwa sejak dulu kebudayaan Cirebon dipengaruhi 3 budaya, yakni Cina, Hindu, dan Islam. Bentuk naga diadaptasi dari kebudayaan Cina. Sayap di kedua sisinya, yang melambangkan burung, atau paksi, merupakan pengaruh dari budaya agama Islam.

Sementara gajah, atau liman, pengaruh dari budaya agama Hindu. Paksi Naga Lima yang terbuat dari kayu sawo, khusus dibuat Pangeran Losari, cucu Sunan Gunung Jati, untuk sang kakek. Paksi Naga Lima. Biasanya digunakan pada saat penobatan sultan. Selain kereta kencana, masih banyak barang peninggalan Kesultanan Cirebon, yang tersimpan di Museum Keraton Kanoman. Baik yang berasal dari peninggalan Sultan Cirebon, maupun dari pemberian pemerintah Belanda dan Inggris.

Selain bisa melihat kraton, obyek wisata yang cukup menonjol adalah wisata ziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Makam yang terletak di Desa Astana, Kecamatan Cirebon ini tidak pernah terlihat sepi. Selain dikenal sebagai salah satu wali, Sunan Gunung Jati ini juga merupakan cikal bakal pendiri Kesultanan Cirebon.

Sayangnya tidak semua orang bisa masuk hingga ke pintu 9, dimana sang sultan dimakamkan. Hanya keturunan Sultan Cirebon saja yang berhak masuk hingga ke makam Sunan Gunung Jati. Sementara bagi masyarakat umum, hanya bisa sampai pintu ke-4 saja.

Rasanya belum lengkap, kalau ke Cirebon tidak mencicipi makanan khas Cirebon. Di antaranya ada nasi Jamblang, dan Tahu Gejrot. Tidak susah mencarinya, karena kedua jenis makanan khas ini bisa dijumpai di segala penjuru kota, baik siang maupun malam hari.

Nasi Jamblang Mang Dul, merupakan tempat makan yang cukup terkenal di kota Cirebon. Rumah makan yang terletak di Jalan Ciptomangunkusumo ini, selalu terlihat ramai dikunjungi. Mang Dul atau nama lengkapnya, Abdul Rozak, termasuk orang pertama, yang membuka usaha makanan nasi Jamblang.

Sejak tahun 1964, Mang Dul berjualan nasi Jamblang keliling, dengan cara dipikul. Baru sekitar tahun 1978, Mang Dul membuka restoran dekat balai kota. Dan sekitar tahun 1990, restoran yang terletak di Jalan Ciptomangunkusumo ini, berdiri.

Nasi Jamblang/ Foto: Instagram/elgibrany
Pedagang Tahu Gejrot/ Foto: Instagram/elgibrany
Setelah Mang Dul meninggal, kini usahanya, diteruskan kelima anaknya. Dengan mempekerjakan sedikitnya 30 orang, khusus di Jalan Ciptomangunkusumo, buka setiap hari, mulai dari jam 4 pagi hingga 3 sore.Sebutan nasi Jamblang sendiri karena penganan ini berasal dari daerah Jamblang, di Cirebon.

Dahulu masyarakat Jamblang, selalu menggunakan daun jati sebagai alas makanannya. Daun jati itu membuat nasi yang telah terbungkus menjadi, harum dan awet. Nasi yang dibungkus daun jati bisa bertahan selama 24 jam. Itulah yang membuat Mang Dul, yang memang berasal dari Jamblang, terinspirasi dengan menjual nasi berbungkus daun jati, beserta lauk pauknya. Dari lauk pauknya sendiri juga terdapat ciri khas. Ada beberapa menu yang memang wajib disajikan, dalam nasi Jamblang.

Cara penyajiannyapun prasmanan. Orang bisa mengambil lauk sesukanya, serta nasi seberapa banyak yang mereka inginkan. Siapa sangka juga kalau daun jati pembungkus nasi ini diambil dari daerah Sumedang, tetangga Cirebon. Dulu, daun jati memang banyak ditemui di daerah Jamblang, tapi kini sudah tidak lagi.

Cara memilih daun jati pun ada tehniknya. Hanya dari pohon yang masih muda, atau setidaknya berumur 5 tahun, dan memiliki tinggi 5 meter, yang boleh diambil. Pohonnyapun harus berada ditengah. Hal ini untuk menghindar polusi.

Walaupun terlihat sederhana, dan menu makanannya pun relatif murah, hanya dihargai 7 ribu rupiah per porsi, tapi toh nasi Jamblang Mang Dul ini bisa memperoleh keuntungan 6 juta rupiah per harinya. Orang memang terus berdatangan tanpa henti, baik dari dalam maupun luar kota.

Selain nasi Jamblang, juga ada Tahu Gejrot. Adalah ibu Runtah, yng sudah berjualan makanan ringan ini selama 30 tahun. Di Jalan Siliwangi, ibu 6 anak ini berjualan dari jam 10 pagi hingga 9 malam.

Sejak umur 17 tahun, Runtah sudah membantu orang tuanya berjualan Tahu Gejrot keliling. Jodohnya pun sesama tukang Tahu Gejrot. Bahkan kini 4 dari 6 orang anaknya mengikuti jejak runtah.

Makanan ringan ini dinamakan Tahu Gejrot karena jenis tahu yang dipakai memang dikenal dari pabriknya sebagai Tahu Gejrot. Tahu digoreng, dibelah 2, lalu diberi saus kecap. Sederhana saja, tapi penikmatnya toh cukup banyak. Tahunya sendiri. khusus didapat Runtah, dari pabrik tahu di daerah Ciledug, Jawa Barat. Harga satu tahu 80 rupiah.

Dengan harga jual 2 ribu 5 ratus rupiah per porsi, Runtah merasa Tahu Gejrot cukup bisa ia jadikan sandaran hidup. Bila ramai pembeli, setidaknya 100 ribu rupiah keuntungan yang bisa didapat. Dari hasil menjual Tahu Gejrot ini jugalah, janda yang baru saja ditinggal mati suaminya ini, menghidupi 2 orang anaknya yang masih sekolah.

Berkunjung ke Cirebon, rasanya sungguh sarat makna. Dari mitos yang melindungi keberadaan Kura-kura Belawa hingga kesederhanaan para penjaja makanan khasnya. Bahkan keraton-keraton di Cirebon pun menyiratkan kebersahajaan itu. Sebuah kebersahajaan yang bisa disalahartikan bila Cirebon tidak segera bebenah diri. Dan akhirnya malah membawa kota tua ini aus dimakan zaman. (Sup)


***
Sumber Text: Indosiar.com

No comments

Komentar sedulur sekalian akan sangat berarti untuk perkembangan blog ini dan mudah-mudahan akan menambah wawasan kita bersama.
Nuhun.
\\Mohon maaf tidak semua pertanyaan mampu dijawab oleh Admin\\

Powered by Blogger.