Propinsi Cirebon, Apakah Sebuah Keharusan?
Saya lahir dan besar di Cirebon. Mendengar isu tentang akan lahirnya Propinsi Cirebon jujur saja saya merasa bangga sekaligus cemas. Bangga-nya karena nama Cirebon mungkin akan lebih besar lagi skalanya, akan lebih terdengar di kancah nasional dan mungkin pula di tingkat internasional. Sedang cemasnya, karena saya tidak tahu motivasi utama apa sebenarnya yang mendorong sejumlah pihak tampak lebih bersemangat dari pihak lainnya dalam menggulirkan isu ini pada dataran yang lebih implementatif.
Saya bukan ahli politik, juga bukan ahli tata Negara dan administrasi publik. Saat yang sama, saya juga tidak punya kepentingan untuk mendukung atau menolak rencana ini. Satu hal yang terpikir adalah, bolehkah saya bertanya “Apa sebenarnya yang diinginkan oleh para penggagas Propinsi Cirebon ?”.
Bila jawabannya supaya bisa lebih maju, lebih sejahtera dan lebih cepat dalam proses pembangunan wilayah Cirebon, saya sangat setuju. Bila jawabannya agar peluang pengelolaan seluruh sumberdaya menjadi lebih maksimal, saya juga setuju. Tapi apakah untuk jawaban-jawaban tadi kita harus “memisahkan diri” dari Propinsi Jawa Barat ?
Marilah kita berkaca pada sejumlah propinsi baru hasil pemekaran wilayah paska reformasi di Indonesia, sebut saja misalnya Propinsi Banten atau beberapa propinsi baru hasil pemekaran lainnya, apa yang terjadi dengan mereka. Betul memang, kita melihat sejumlah ibukota baru terbentuk, infrastruktur juga semakin banyak dibangun untuk keperluan mendukung infrastruktur aparatur yang baru terbentuk.
Namun, dari sisi kesejahteraan rakyat, ternyata kita masih harus berdebat panjang. Ekspektasi yang tinggi dari sejumlah pihak yang merintis propinsi-propinsi baru ternyata masih banyak yang belum terealisasi. Hal ini disebabkan adanya pengakuan sejumlah pendiri atau penggagas awal daerah baru tersebut yang idealisme serta ide-ide awal mereka tidak terakomodir dalam perjalanan wilayah baru ini. Pada dataran teknisnya, wilayah-wilayah baru yang terbentuk masih harus berjuang untuk mengatasi sejumlah hal-hal utama yang ada di infrastruktur dan organisasinya yang baru.
Di luar itu semua, apapun yang terjadi, kita tetap harus menaruh optimisme terhadap Cirebon. Baik dalam konteks pembangunan kebudayaan maupun dalam konteks pembangunan dan kemajuan wilayah ini secara keseluruhan. Siapapun yang berdiri di depan menjadi para perintis pendirian Propinsi Cirebon, mudah-mudahan memiliki idealisme yang tinggi bahwa apa yang dilakukan sepenuhnya didedikasikan untuk masyarakat wilayah Cirebon dan bangsa Indonesia secara luas. Bukan untuk kepentingan politik sesaat. Bukan pula untuk memindah “imperium” kekuasan baru yang tergerus di tempat lama. Bukan pula untuk kepentingan personal lainnya yang justeru membuat rakyat tidak simpatik.
(Nana Sudiana/Kompasiana)
Sumber: Kompasiana
Saya bukan ahli politik, juga bukan ahli tata Negara dan administrasi publik. Saat yang sama, saya juga tidak punya kepentingan untuk mendukung atau menolak rencana ini. Satu hal yang terpikir adalah, bolehkah saya bertanya “Apa sebenarnya yang diinginkan oleh para penggagas Propinsi Cirebon ?”.
Bila jawabannya supaya bisa lebih maju, lebih sejahtera dan lebih cepat dalam proses pembangunan wilayah Cirebon, saya sangat setuju. Bila jawabannya agar peluang pengelolaan seluruh sumberdaya menjadi lebih maksimal, saya juga setuju. Tapi apakah untuk jawaban-jawaban tadi kita harus “memisahkan diri” dari Propinsi Jawa Barat ?
Marilah kita berkaca pada sejumlah propinsi baru hasil pemekaran wilayah paska reformasi di Indonesia, sebut saja misalnya Propinsi Banten atau beberapa propinsi baru hasil pemekaran lainnya, apa yang terjadi dengan mereka. Betul memang, kita melihat sejumlah ibukota baru terbentuk, infrastruktur juga semakin banyak dibangun untuk keperluan mendukung infrastruktur aparatur yang baru terbentuk.
Namun, dari sisi kesejahteraan rakyat, ternyata kita masih harus berdebat panjang. Ekspektasi yang tinggi dari sejumlah pihak yang merintis propinsi-propinsi baru ternyata masih banyak yang belum terealisasi. Hal ini disebabkan adanya pengakuan sejumlah pendiri atau penggagas awal daerah baru tersebut yang idealisme serta ide-ide awal mereka tidak terakomodir dalam perjalanan wilayah baru ini. Pada dataran teknisnya, wilayah-wilayah baru yang terbentuk masih harus berjuang untuk mengatasi sejumlah hal-hal utama yang ada di infrastruktur dan organisasinya yang baru.
Di luar itu semua, apapun yang terjadi, kita tetap harus menaruh optimisme terhadap Cirebon. Baik dalam konteks pembangunan kebudayaan maupun dalam konteks pembangunan dan kemajuan wilayah ini secara keseluruhan. Siapapun yang berdiri di depan menjadi para perintis pendirian Propinsi Cirebon, mudah-mudahan memiliki idealisme yang tinggi bahwa apa yang dilakukan sepenuhnya didedikasikan untuk masyarakat wilayah Cirebon dan bangsa Indonesia secara luas. Bukan untuk kepentingan politik sesaat. Bukan pula untuk memindah “imperium” kekuasan baru yang tergerus di tempat lama. Bukan pula untuk kepentingan personal lainnya yang justeru membuat rakyat tidak simpatik.
Sumber: Kompasiana
Post a Comment