Perang Kedongdong
Syahdan, karena menolak tunduk terhadap tekanan pemerintah kolonial Belanda, Pangeran Raja Kanoman memilih melepaskan takhta kesultanan. Haknya sebagai sultan dilepas begitu saja. Putra mahkota Sultan Kanoman IV itu keluar dari keraton, lalu bergabung dengan rakyat Cirebon yang menentang Belanda.
Alhasil, perlawanan rakyat Cirebon dalam menolak pajak paksa yang diterapkan Belanda kian sengit. Di sana-sini terjadi pemberontakan. Belanda kewalahan menghadapinya dan mengalami kerugian yang sangat besar. Secara materiil, sedikitnya Belanda menderita kerugian 150.000,00 Gulden. Ribuan prajuritnya pun tewas.
Untuk meredam pemberontakan itu, Belanda sampai harus menjalin aliansi militer strategis dengan Portugis. Ribuan prajurit Belanda dan Portugis tambahan didatangkan.Mereka diangkut dengan menggunakan enam kapal perang besar dan mendarat di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon.
Kedatangan ribuan prajurit tambahan itu, tidak membuat rakyat Cirebon gentar. Pangeran Raja Kanoman itu justru makin menggencarkan perlawanan. Salah satu perang besar sekaligus monumental ialah Perang Kedondong, terjadi si salah satu daerah di Kecamatan Susukan, di perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu. Ribuan korban jatuh dari kedua belah pihak. Dari pihak rakyat, perang itu dipimpin oleh Raden Bagus Serangin.
Kecamuk Perang Kedondong, bahkan ditulis dengan gaya naratif-deskriptif oleh prajurit Belanda bernama Van Der Kamp. Buku Van Der Kamp itu, bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ejaan lama 1952. Naskah aslinya ditulis dalam bahasa Belanda dan tersimpan rapi di perpustakaan di Negeri Kincir Angin itu.
Dalam pemberontakan itu, melalui siasat licik Belanda, Pangeran Raja Kanoman tertangkap. Setelah sempat ditahan di benteng Belanda di Batavia (Jakarta), sultan pemberani itu kemudian ditahan di benteng Viktoria, di Ambon, Maluku. Sebelum dibuang ke Ambon, Belanda telah melucuti seluruh gelar darah birunya. Putra mahkota itu dicabut haknya atas takhta sultan di Keraton Kanoman.
Sebagai gantinya, diangkatlah adik Pangeran Raja Kanoman yang kemudian menjadi Sultan Kanoman V, bergelar Sultan Muhammad Iman Udin. Peristiwa bersejarah itu terjadi dalam rentang waktu 1793-1808 masehi, tujuh belas tahun sebelum pecah Perang Diponegoro yang oleh Belanda, disebut sebagai Perang Jawa.
"Perang Diponegoro itu dipicu persoalan pribadi, karena Belanda memasang patok di makam raja-raja Mataram. Kalau pemberontakan rakyat Cirebon yang melibatkan Pangeran Raja Kanoman, itu murni perlawanan rakyat terhadap penindasan Belanda. Putra mahkota itu menolak menjadi sultan, karena tidak mau tunduk kepada Belanda yang menarik pajak paksa kepada rakyat Cirebon. Akan tetapi, kenapa yang tercatat dalam sejarah nasional, hanya Perang Diponegoro? Perang Cirebon seolah-olah hanya menjadi sejarah lokal," kata Dadang Kusnandar, budayawan dan pemerhati sejarah Cirebon.
**
Berdasarkan catatan sejarah Keraton Kacirebonan, meski Pangeran Raja Kanoman dibuang ke Ambon, perlawanan rakyat Cirebon justru kian menjadi-jadi. Setiap hari selalu ada penyerangan terhadap prajurit maupun pembakaran rumah-rumah dan bangunan, yang menjadi simbol kekuasaan Belanda di Kota Cirebon.
Belanda makin kewalahan. Para petinggi Belanda memerintahkan agar Pangeran Raja Kanoman dikembalikan ke Cirebon. Melalui para pimpinan pemberontak, Belanda meminta syarat: bila Pangeran Raja Kanoman dikembalikan, pemberontakan dihentikan. Sebagai jalan tengah, status darah biru Pangeran Raja Kanoman dikembalikan. Kendati demikian, dia tak berhak atas kesultanan di Keraton Kanoman.
Belanda memang menepati janjinya. Hak darah biru Pangeran Raja Kanoman dipulihkan. Hanya, putra mahkota itu diminta membuat keraton baru dan kasultanan baru, yang bukan di Keraton Kanoman. Pada 1808, Pangeran Raja Kanoman memilih tinggal di kompleks Gua Sunyaragi di daerah Sentul (kini Jln. By Pass Brigjen Dharsono). Pangeran itu kemudian bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau sering disebut sebagai Sultan Carbon.
Meski menjadi raja, Sultan Carbon tidak pernah memiliki keraton. Dia hidup sederhana bersama istrinya, Ratu Raja Resminingpuri. Sikap tegasnya tetap berlaku, dengan menolak uang pensiun dan seluruh pemberian dari Belanda. Pada 1814, Sultan Carbon mangkat.
Karena putra lelakinya masih berusia lima tahun, bernama Pangeran Raja Madenda, Kesultanan Carbon diwakili (volmak) janda Sultan Carbon, Ratu Raja Resminingpuri. Pada saat itulah, Ratu Raja membangun Keraton Kacirebonan di Pulosaren, tak jauh dari Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dengan memanfaatkan uang pensiunan dari Belanda yang selama menjadi Sultan Carbon selalu ditampiknya. Setelah besar, mahkota diserahkan kepada putranya yang bergelar Pangeran Raja Madenda I.
"Belanda menolak gelar sultan pada ahli waris Sultan Carbon. Ini berbeda dengan Keraton Kasepuhan dan Kanoman, yang rajanya diperbolehkan bergelar Sultan," kata Elang Heri Komarahadi, kerabat Keraton Kacirebonan yang kini menjadi Ketua "Sekar Pandan", sanggar seni tradisional di areal keraton.
**
PADA 1960, setelah Indonesia merdeka, raja di Keraton Kacirebonan kembali bergelar sultan. Ketika itu, keraton dipimpin Sultan Karta Natadiningrat, lalu putranya Sultan Amir Natadiningrat. Dan, sejak 1997 sampai sekarang, keraton dipegang oleh Sultan Abdul Gani Natadiningrat.
"Kalau melihat sejarahnya, Keraton Kacirebonan sebenarnya bukti dan simbol perlawanan terhadap Belanda. Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara malah menyebut bahwa pemberontakan Cirebon itu merupakan pemberontakan santri pertama di tanah Jawa. Bisa jadi, itu menjadi inspirasi bagi Pangeran Diponegoro untuk bangkit melawan Belanda," ujar Dadang Kusnandar.
Sampai sekarang, Keraton Kacirebonan menjadi simbol sejarah bahwa rakyat dan raja Cirebon juga memiliki rasa nasionalisme tinggi. Perjuangan mereka tak kalah heroik dengan rakyat Banten dan Sultan Ageng Tirtayasa yang menolak Belanda, termasuk Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro pada 1825-1830.
Oleh karena itu, menurut Dadang, sudah saatnya peristiwa-peristiwa bersejarah di Cirebon itu diapresiasi dan ditulis secara lebih komprehensif di buku-buku sejarah nasional. "Bila perlu, Pangeran Raja Kanoman, Raden Bagus Serangin, dan dua saudaranya yang memimpin perang Kedondong dijadikan pahlawan setingkat Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Pattimura, dan Pangeran Antasari, "ujar Dadang Kusnandar.
Ia pun berharap Pemerintah Kota dan Kabupaten Cirebon, memberi penghormatan kepada mereka. Misalnya dengan menjadikannya sebagai nama jalan atau nama-nama tempat strategis yang menjadi ikon Cirebon
(Tulisane Kang Dadang/Lingkar Budaya Cerbon)
(Sumber Maya : http://sejarahcirebon.blogspot.com/)
Alhasil, perlawanan rakyat Cirebon dalam menolak pajak paksa yang diterapkan Belanda kian sengit. Di sana-sini terjadi pemberontakan. Belanda kewalahan menghadapinya dan mengalami kerugian yang sangat besar. Secara materiil, sedikitnya Belanda menderita kerugian 150.000,00 Gulden. Ribuan prajuritnya pun tewas.
Untuk meredam pemberontakan itu, Belanda sampai harus menjalin aliansi militer strategis dengan Portugis. Ribuan prajurit Belanda dan Portugis tambahan didatangkan.Mereka diangkut dengan menggunakan enam kapal perang besar dan mendarat di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon.
Kedatangan ribuan prajurit tambahan itu, tidak membuat rakyat Cirebon gentar. Pangeran Raja Kanoman itu justru makin menggencarkan perlawanan. Salah satu perang besar sekaligus monumental ialah Perang Kedondong, terjadi si salah satu daerah di Kecamatan Susukan, di perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu. Ribuan korban jatuh dari kedua belah pihak. Dari pihak rakyat, perang itu dipimpin oleh Raden Bagus Serangin.
Kecamuk Perang Kedondong, bahkan ditulis dengan gaya naratif-deskriptif oleh prajurit Belanda bernama Van Der Kamp. Buku Van Der Kamp itu, bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ejaan lama 1952. Naskah aslinya ditulis dalam bahasa Belanda dan tersimpan rapi di perpustakaan di Negeri Kincir Angin itu.
Dalam pemberontakan itu, melalui siasat licik Belanda, Pangeran Raja Kanoman tertangkap. Setelah sempat ditahan di benteng Belanda di Batavia (Jakarta), sultan pemberani itu kemudian ditahan di benteng Viktoria, di Ambon, Maluku. Sebelum dibuang ke Ambon, Belanda telah melucuti seluruh gelar darah birunya. Putra mahkota itu dicabut haknya atas takhta sultan di Keraton Kanoman.
Sebagai gantinya, diangkatlah adik Pangeran Raja Kanoman yang kemudian menjadi Sultan Kanoman V, bergelar Sultan Muhammad Iman Udin. Peristiwa bersejarah itu terjadi dalam rentang waktu 1793-1808 masehi, tujuh belas tahun sebelum pecah Perang Diponegoro yang oleh Belanda, disebut sebagai Perang Jawa.
"Perang Diponegoro itu dipicu persoalan pribadi, karena Belanda memasang patok di makam raja-raja Mataram. Kalau pemberontakan rakyat Cirebon yang melibatkan Pangeran Raja Kanoman, itu murni perlawanan rakyat terhadap penindasan Belanda. Putra mahkota itu menolak menjadi sultan, karena tidak mau tunduk kepada Belanda yang menarik pajak paksa kepada rakyat Cirebon. Akan tetapi, kenapa yang tercatat dalam sejarah nasional, hanya Perang Diponegoro? Perang Cirebon seolah-olah hanya menjadi sejarah lokal," kata Dadang Kusnandar, budayawan dan pemerhati sejarah Cirebon.
**
Berdasarkan catatan sejarah Keraton Kacirebonan, meski Pangeran Raja Kanoman dibuang ke Ambon, perlawanan rakyat Cirebon justru kian menjadi-jadi. Setiap hari selalu ada penyerangan terhadap prajurit maupun pembakaran rumah-rumah dan bangunan, yang menjadi simbol kekuasaan Belanda di Kota Cirebon.
Belanda makin kewalahan. Para petinggi Belanda memerintahkan agar Pangeran Raja Kanoman dikembalikan ke Cirebon. Melalui para pimpinan pemberontak, Belanda meminta syarat: bila Pangeran Raja Kanoman dikembalikan, pemberontakan dihentikan. Sebagai jalan tengah, status darah biru Pangeran Raja Kanoman dikembalikan. Kendati demikian, dia tak berhak atas kesultanan di Keraton Kanoman.
Belanda memang menepati janjinya. Hak darah biru Pangeran Raja Kanoman dipulihkan. Hanya, putra mahkota itu diminta membuat keraton baru dan kasultanan baru, yang bukan di Keraton Kanoman. Pada 1808, Pangeran Raja Kanoman memilih tinggal di kompleks Gua Sunyaragi di daerah Sentul (kini Jln. By Pass Brigjen Dharsono). Pangeran itu kemudian bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau sering disebut sebagai Sultan Carbon.
Meski menjadi raja, Sultan Carbon tidak pernah memiliki keraton. Dia hidup sederhana bersama istrinya, Ratu Raja Resminingpuri. Sikap tegasnya tetap berlaku, dengan menolak uang pensiun dan seluruh pemberian dari Belanda. Pada 1814, Sultan Carbon mangkat.
Karena putra lelakinya masih berusia lima tahun, bernama Pangeran Raja Madenda, Kesultanan Carbon diwakili (volmak) janda Sultan Carbon, Ratu Raja Resminingpuri. Pada saat itulah, Ratu Raja membangun Keraton Kacirebonan di Pulosaren, tak jauh dari Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dengan memanfaatkan uang pensiunan dari Belanda yang selama menjadi Sultan Carbon selalu ditampiknya. Setelah besar, mahkota diserahkan kepada putranya yang bergelar Pangeran Raja Madenda I.
"Belanda menolak gelar sultan pada ahli waris Sultan Carbon. Ini berbeda dengan Keraton Kasepuhan dan Kanoman, yang rajanya diperbolehkan bergelar Sultan," kata Elang Heri Komarahadi, kerabat Keraton Kacirebonan yang kini menjadi Ketua "Sekar Pandan", sanggar seni tradisional di areal keraton.
**
PADA 1960, setelah Indonesia merdeka, raja di Keraton Kacirebonan kembali bergelar sultan. Ketika itu, keraton dipimpin Sultan Karta Natadiningrat, lalu putranya Sultan Amir Natadiningrat. Dan, sejak 1997 sampai sekarang, keraton dipegang oleh Sultan Abdul Gani Natadiningrat.
"Kalau melihat sejarahnya, Keraton Kacirebonan sebenarnya bukti dan simbol perlawanan terhadap Belanda. Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara malah menyebut bahwa pemberontakan Cirebon itu merupakan pemberontakan santri pertama di tanah Jawa. Bisa jadi, itu menjadi inspirasi bagi Pangeran Diponegoro untuk bangkit melawan Belanda," ujar Dadang Kusnandar.
Sampai sekarang, Keraton Kacirebonan menjadi simbol sejarah bahwa rakyat dan raja Cirebon juga memiliki rasa nasionalisme tinggi. Perjuangan mereka tak kalah heroik dengan rakyat Banten dan Sultan Ageng Tirtayasa yang menolak Belanda, termasuk Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro pada 1825-1830.
Oleh karena itu, menurut Dadang, sudah saatnya peristiwa-peristiwa bersejarah di Cirebon itu diapresiasi dan ditulis secara lebih komprehensif di buku-buku sejarah nasional. "Bila perlu, Pangeran Raja Kanoman, Raden Bagus Serangin, dan dua saudaranya yang memimpin perang Kedondong dijadikan pahlawan setingkat Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Pattimura, dan Pangeran Antasari, "ujar Dadang Kusnandar.
Ia pun berharap Pemerintah Kota dan Kabupaten Cirebon, memberi penghormatan kepada mereka. Misalnya dengan menjadikannya sebagai nama jalan atau nama-nama tempat strategis yang menjadi ikon Cirebon
(Tulisane Kang Dadang/Lingkar Budaya Cerbon)
(Sumber Maya : http://sejarahcirebon.blogspot.com/)
Post a Comment