PEMBERONTAKAN CIREBON TAHUN 1818
Cover Buku Pemberontakan Cirebon Tahun 1818 |
Pemerintahan raja-raja di Cirebon dari zaman VOC (Kompeni) menjadi sumber kemelaratan dan kekacauan. Terlalu banyak orang-orang bangsawan yang tidak bekerja, hidup dari hasil perasan keringat rakyat yang menyebabkan timbulnya kegelisahan dan gangguan keamanan. Bertitik-tolak dari kesimpulan seperti itulah maka di tahun 1792, J. L. Umbgrove selaku residen berpendapat: "Dipandang perlu untuk mengurangi jumlah pangeran dan ratu (merekà itu tak berperikemanusiaan dan tak dapat dipakai) dan mengubah fungsi mereka menjadi abdi masyarakat agar dengan begitu dapat diharapkan, negeri itu tidak lagi dihisap habis-habisan dan dapat memperoleh lebih banyak berkat demi kepentingan penduduknya.
Dahulu ada dua orang sultan yang masing-masing mempunyai daerah yang terpisah. Tidak lama sesudah pembagian atas wilayah Kesultanan Kesepuhan dan Kanoman itu, maka pada tahun 1473 bertambah lagi dengan satu Kesultanan Kacirebonan. Pemerintahan Raffles yang menggantikan tangan-besi Daendels telah menghapuskan ketiga penguasa tersebut. : Gelar kesultanan dan turunannya tetap diakui. Di samping itu para sultan diberi pensiun. Sultan Cirebon mendapat paling sedikit : F 600 sebulan dengan pertimbangan bahwa turunannya tidak sebanyak Sultan Kasepuhan dan Kanoman.
Dua belas tahun setelah mereka tersingkir sewaktu perang Jawa berkecamuk, lahirlah seorang anak Sultan Cirebon yang meninggal dunia pada bulan Oktober 1914, setelah 58 tahun lamanya memegang Kacirebonan sebagai sultan. Pada mulanya, peraturan menetapkan bahwa pensiun, selain berupa uang tunai, juga sebagian berupa hasil sawah yang telah ditunjuk bagi keperluan itu. Sejak zaman Van der Capellen, hasil sawah tersebut ditetapkan pula berupa uang tunai, yaitu F 1500 per tahun.
Dapat kiranya dimengerti bahwa keadaan para sultan yang diturunkan Raffles itu menimbulkan rasa tak puas,baik mengenai pengakuan atas gelar kerajaan maupun tentang tunjangan yang sangat terbatas bagi orang-orang keturunan sultan yang tak punya pekerjaan tapi bersikap boros itu. Ini ternyata dari uraian yang mengisahkan pemberontakan ini, ketika tahap keduanya sudah berada di ambang pintu.
Dengan surat tanggal 2 Juni 11818 No. 44 residen menyampaikan dua pucuk suråt dari Sultan Sepuh dan Sultan Anom kepada gubernur jenderal yang berisi satu permohonan: "Karena mereka berkewajiban memelihara keluarga sedang pendapatan mereka tak mencukupi untuk itu, agar hidup mereka dapat kiranya diperbaiki dengan jalan menambah tunjangan pensiun yang ada sekarang ini."
Dengan surat keputusan tanggal 16 berikutnya No.4, dari mana kutipan ini diambil, permohonan tersebut dikirim kembali kepada residen dengan catatan: "Agar memberitahukan dan membuat perhitungan terperinci tentang segala sesuatu yang diperlukan oleh kedua sultan tersebut, berapa mereka terima dahulu - Sultan Anom dan Sultan Sepuh – dan berapa sekarang, disertai pertimbangan secukupnya.'
Tapi sekalipun mereka telah diturunkan secara politis namun pengaruh kebesaran mereka tidak hilang dan tetap ada pada rakyat, sehingga dengan atau tanpa pengetahuan mereka, rasa tak puas itu menjalar terus dan secara diam-diam atau terang-terangan mengambil bentuk berupa tuntutan, agar dipulihkan kernbali kedudukan mereka dan inilah yang dipakai sebagai alasan untuk mengatur timbulnya suatu pemberontakan.
Tidak lama sesudah masa pemulihan (kekuasaan oleh Inggris kepada Belanda) pada akhir Nopember dan awal Desember 1816, keadaan pun sudah mulai bergolak. Dicarilah sebab-sebabnya antara lain: adanya hasutan dari pihak Inggris, kesewenangan pemilik tanah partikelir dan berlakunya landrente secara sembrono.
Pajak baru ini masih berjalan sementara menurut peraturan yang dibuat Inggris, dengan macam-macam istilah disebut sebagai "peraturan yang keterlaluan", "sewenang-wenangnya yang berkuasa saja", berkedok dengan nama "landrent" (sewa tanah) yang membuat Raffles " secara licik telah menciptakan perpajakan bagi rakyat pulau Jawa dan menyebabkan penduduk teraniaya, menderita perkosaan atas hak tanahnya selama 80 tahun".
Keadaan seperti ini boleh dikata umum di pulau Jawa dan Madura tapi teristimewa untuk daerah Cirebon, begitulah dalam kenyataannya dan adanya pemerintahan yang tak menentu itu, "telah menusuk perasaan dan hati rakyat secara mendalam". Keadaan seperti ini diakui adanya oleh residen pertama sesudah Pemulihan, yaitu W.N.Servatius dan pembesar tinggi ini bukanlah terbaik dalam segalanya, tapi seperti ditulis oleh Willem Van Hogendorp kepada ayahnya, tanggal 30Juni 1826 adalah seorang yang mempunyai pertimbangan sehat dan belum ada terdengar orang memburuk-burukkan namanya sekalipun berada di tengah-tengah pergaulan yang saling mengiri seperti di sini."
Tahun 1816 markas kaum perusuh memang berada di Karawang dan waktu itu membatasi gerakannya di sekitar itu saja, namun dipercayai bahwa perlawanan yang sebenarnya berasal dari Cirebon dan orang Karawang yang tak berpikir panjang itu digunakan sebagai pelopornya.
Post a Comment