Lahirnya Pemerintah Kota di Indonesia
PEMERINTAH Kota adalah sebuah lembaga yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan pemerintahan di tingkat kota secara otonom. Pada saat ini lembaga pemerintah kota memiliki wewenang setingkat dengan lembaga pemerintah kabupaten. Pemerintah kota merupakan hal baru di Indonesia, artinya lembaga tersebut pada awalnya belum ada. Pemerintah kota baru dibentuk pada akhir masa kolonial Belanda, yaitu pada awal abad ke-20 setelah diundangkannya Undang-Undang Desentralisasi Tahun 1903.
Pada masa pra-kolonial kota-kota di Indonesia masih berstatus sebagai ibukota pemerintah dan tempat kedudukan kepala pemerintahan tertinggi setempat. Pada masa pra-kolonial kota-kota bukanlah kawasan yang memiliki pemerintahan tersendiri yang otonom. Kota pada waktu itu merupakan bagian dari wilayah pemerintahan induknya. Kota kerajaan merupakan bagian dari wilayah kerajaan yang dipimpin oleh raja, kota kabupaten merupakan bagian dari wilayah kabupaten yang diperintah oleh bupati. Pada masa kolonial Belanda sudah mulai terjadi perubahan pada kota-kota di Indonesia. Selain berfungsi sebagai ibukota pemerintahan tradisional setempat, kota-kota di Indonesia juga menjadi pusat pemerintahan kolonial secara berjenjang.
Jenjang atau struktur pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia pada dasarnya hampir-hampir meniru jenjang atau struktur pemerintahan tradisional yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian mereka juga menggunakan kota-kota yang telah ada sebagai ibukota pemerintahan secara berjenjang pula. Sebagai ibukota negara, tempat berkedudukan gubernur jenderal, dipilih Batavia (pada masa pendudukan Jepang berubah nama menjadi Jakarta). Satu tingkat di bawahnya terdapat pemerintahan wilayah setingkat gubernur, yaitu gezaghebber, sebelum berdiri pemerintahan provinsi secara devinitif, yaitu tahun 1928. Di Jawa bagian timur terdapat gezaghebber van den oosthoek yang pada awalnya berkedudukan di kota Semarang, tetapi kemudian pindah ke kota Surabaya.
Pemerintahan gezaghebber hanya berlangsung pada masa VOC, yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda diganti dengan keresidenan. Kedudukan pemerintah keresidenan biasanya di kota-kota yang cukup besar. Keresidenan biasanya membawahi empat sampai enam kabupaten, misalnya keresidenan Surabaya membawahi Kabupaten Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Mojokerto. Kota tempat kedudukan residen berstatus sebagai ibukota keresidenan. Di tingkat kabupaten, pemerintah kolonial Belanda mengangkat asisten residen, yang biasanya juga orang Belanda, yang berkedudukan di ibukota kabupaten.[1] Mengacu pada struktur pemerintahan tersebut, pemerintah kolonial Belanda ternyata memanfaatkan kota-kota yang telah ada sebelumnya sebagai ibukota pemerintahan yang mereka bentuk. Tidak ada satupun kota di Indonesia yang dibangun dari awal untuk kepentingan pemerintah kolonial. Mereka hanya memanfaatkan kota yang telah ada, dan pada periode berikutnya mereka meningkatkan dan membangun kota-kota tersebut menjadi lebih sempurna. Di kota-kota itulah orang-orang Eropa yang baru datang tinggal dan membangun kehidupan baru yang berbeda dengan kondisi di tempat asal mereka di Eropa. Dari hari ke hari jumlah orang Eropa yang tinggal di kota-kota di Indonesia semakin banyak. Sebagian besar dari mereka adalah para pegawai pemerintah, tentara, serta para pengusaha.
Undang-Undang Desentralisasi 1903
Sejak dicabutnya larangan membawa istri bagi orang-orang Eropa yang akan menetap di Indonesia pada akhir abad ke-18, gelombang kedatangan orang Eropa ke Indonesia semakin tinggi. Mereka datang ke Indonesia dengan membawa serta istri mereka, serta membawa anak-anak mereka bagi yang sudah memiliki anak. Akibatnya, jumlah penduduk Eropa di Indonesia melonjak tajam, karena mereka kemudian juga beranak-pinak di Indonesia.[2] Anak-anak yang lahir di Indonesia dan beranjak dewasa kemudian juga membentuk keluarga-keluarga baru. Sebagian besar penduduk Eropa di Indonesia tinggal di kota, hanya sebagian kecil saja yang mau tinggal di pedesaan, yaitu para pegawai perkebunan. Sebagian besar dari mereka tinggal di kota-kota di Jawa. Kota-kota di luar Jawa yang ditinggali oleh orang Eropa dalam jumlah yang cukup banyak hanya kota-kota utama saja, antara lain di kota-kota yang kemudian berkembang menjadi ibukota provinsi, seperti Medan, Makassar, Palembang, Padang, Menado, dan lain-lain.
Orang-orang Eropa yang menetap di berbagai kota di Indonesia pada awalnya cukup enak menetap di kota tersebut. Mereka merasakan kehidupan yang nyaman di negara tropis yang hangat, karena sebelumnya mereka tinggal di negara sub-tropik yang kekurangan cahanya matahari. Bahkan mereka menyebut Indonesia sebagai mooi Indie atau Hindia yang cantik, yang nyaman sebagai tempat tinggal. Namun, lama kelamaan mereka merasakan bahwa kota-kota di Indonesia ternyata tidak se-teratur dan se-bersih kota-kota tempat mereka berasal di Eropa. Kota-kota di Indonesia merupakan kota yang kurang teratur, kawasan pemukiman penduduk Bumiputra sebagian besar masih semrawut dan tidak terurus. Bahkan sebagian besar orang Eropa menuduh perkampungan tempat tinggal penduduk Bumiputra sebagai sarang penyakit yang bisa menulari warga kota lainnya.[3] Kondisi kota yang kurang teratur menimbulkan ketidakpuasan di kalangan penduduk mereka. Menurut mereka penyebab ketidaknyamanan kota-kota di Indonesia adalah karena kota-kota tersebut tidak dikelola oleh sebuah lembaga otonom yang khusus mengelola kota dan diberi wewenang mengelola keuangan secara mandiri. Pada periode itu kota-kota berada di bawah kendali gubernur jenderal yang berkedudukan di Batavia sehingga kontrol terhadap kota sangat lemah. Anggaran untuk pemeliharaan kota juga sangat tergantung dengan alokasi anggaran yang ditentukan dari Batavia. Anggaran untuk pemeliharaan kota serta untuk melengkapi berbagai fasilitas yang diperlukan warga kota, terutama masyarakat Eropa, sangat tergantung dari belas kasihan gubernur jenderal. Sementara itu kekuasaan tradisional yang berada di tangan penguasa Bumiputra nyaris tidak pernah memikirkan kota.
Kondisi kota-kota di Indonesia kemudian memancing berbagai diskusi dan polemik di negeri Belanda pada pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1858, seorang penulis anonim dengan inisial N.A. menulis sebuah artikel pendek berjudul “Varia” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie 20, No. 1 Tahun 1858 yang berisi kritikan mengenai kondisi kota Batavia yang tidak nyaman. Dia menunjukkan bahwa persoalan di kota Batavia yang antara lain meliputi tidak adanya air bersih untuk mandi dan minum, tidak adanya lampu jalan pada malam hari, pemukiman orang-orang Tionghoa yang sembarangan di antara pemukiman orang-orang Belanda, dan tidak adanya supervisi (pengawasan) terhadap para pembantu rumah tangga Bumiputra merupakan dampak dari tidak adanya otoritas lokal yang mengurusi hal-hal tersebut. Ia meneruskan bahwa hal-hal sepele yang seharusnya ditangani oleh otoritas lokal selama ini dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang diikuti oleh kekacauan finansial dan administrasi. Kondisi tersebut tentu saja sangat tidak efektif sehingga memerlukan perbaikan dan pengembangan kota.[4]
Pada tingkat pemerintah di negeri Belanda, diskusi mengenai pemberian otoritas kepada warga lokal (kota) untuk mengelola kotanya sendiri juga mengemuka. Diskusi-diskusi selalu memunculkan pro dan kontra. Bagi yang kontra terhadap pemberian otonomi lokal, terutama kaum konservatif, mengatakan bahwa pemberian otoritas terhadap warga Eropa di kota-kota di Hindia Belanda tidak perlu dilakukan, karena toh orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda suatu saat akan pulang juga ke negeri induknya. Pendapat lain yang sejalan dengan penolakan tersebut mengatakan bahwa pemerintah kota yang otonom bisa jadi tidak akan cocok dengan kondisi di Hindia Belanda. Pendapat yang pro terhadap pemberian otonomi, salah satunya dari Cornest de Groot yang didukung oleh golongan liberal, mengatakan bahwa pemberian otonomi terhadap kota justru akan meringankan beban kerja residen, karena selama ini kota berada di bawah otoritas residen yang merupakan kepanjangan tangan gubernur jenderal. Namun pendapat yang pro pun memiliki kekhawatiran terhadap keberadaan penduduk Tionghoa, Arab dan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), serta penduduk Indonesia (Inlanders), apakah golongan penduduk non-Eropa tersebut nantinya akan diikutkan dalam dewan kota (gemeenteraad) atau tidak. Pada waktu itu ide yang berkembang di negeri Belanda adalah bahwa pemberian otonomi terhadap kota sebenarnya untuk kepentingan penduduk Eropa, khususnya penduduk Belanda.
Perdebatan tersebut terus berlangsung sampai akhir abad ke-19. Berbagai silang sengketa mengenai pemberian otonomi terhadap kota berakhir dengan dilakukannya konsultasi pemerintah di negeri Belanda dengan Raad van Indie. Secara umum mereka sepakat bahwa akan diberikan otonomi kepada kota-kota di Indonesia, namun pemberian otonomi tersebut tidak dipukul rata pada semua kota yang memenuhi syarat. Pemberlakuan berbeda akan diberikan kepada kota-kota di Jawa dengan kota-kota di luar Jawa yang memiliki karakter berbeda. Warga kota akan mendapatkan wakilnya dalam dewan kota yang akan bekerja membahas berbagai persoalan di kota di mana mereka tinggal, serta membangun kota agar menjadi tempat hunian yang nyaman dan lebih baik.
Pada tahun 1903, atas usul Idenburg diadakanlah perubahan terhadap pasal 68Regeringsreglement 1854 (semacam Undang-Undang Dasar bagi daerah jajahan Belanda) dengan penambahan pasal 68a, 68b, dan 68c, yang memberikan kesempatan untuk membentuk daerah-daerah otonom. Usulan tersebut disusul dengan diundangankannya Wet Houdende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie, yang lebih dikenal dengan nama Decentralisatie Wet 1903.[5] Undang-undang tersebut merupakan undang-undang otonomi pemerintah daerah pertama yang diberlakukan di Indonesia. Aturan teknis untuk melaksanakan Decentralisatie Wet 1903 keluarlahDecentralisatie Besluit 1905 dan Local Raden Ordonnantie. Decentralisatie Besluit tersebut mengemukakan tentang pokok-pokok pembentukan, susunan, kedudukan, dan wewenang Dewan/Raad dalam pengelolaan keuangan yang dipisahkan dari pemerintah pusat. Sedangkan Local Raden Ordonnantie merupakan aturan pelaksanaan yang menentukan struktur, status, kewenangan, dan pembentukan berbagai Raad, yaitu Gewestelijkeraad, Plaatselijkraad, dan Gemeenteraad. Dengan dasar berbagai undang-undang dan aturan tersebut maka kota-kota besar di Indonesia yang memenuhi syarat diubah statusnya menjadi kota otonom yang memiliki pemerintahan sendiri yang terpisah dengan pemerintah pusat tetapi tetap bertanggung jawab kepada pemerintah pusat (gubernur jenderal). Koto otonom tersebut diberi nama gemeente. Kota-kota besar kemudian ditetapkan sebagai gemeente, yaitu Batavia, Meester Cornelis (Jatinegara), Bogor (1905), Surabaya, Blitar, Pekalongan, Magelang, Kediri, Bandung (1906), Malang (1914), dan tidak lama kemudian diikuti dengan banyak kota lainnya.[6]
Sebagian besar kota yang ditetapkan sebagai gemeente adalah ibukota karesidenan, karena di kota-kota itulah berdiam penduduk Belanda dalam jumlah yang cukup besar. Mereka adalah para pegawai pemerintah, pegawai kantor dagang, serta pegawai perkebunan. Pembentukan gemeentepada awalnya memang bertujuan untuk melayani warga kota berkebangsaan Belanda, sedangkan untuk mengurus warga kampung Bumiputra pemerintah kolonial menyerahkan hal tersebut kepada penguasa tradisional, yaitu para bupati. Lembaga pemerintahan tradisional yang mengurusi kota diberi status inlands gemeenten. Dengan demikian maka di kota-kota yang berstatus sebagaigemeente terdapat dualisme pemerintahan, yaitu gemeente yang khusus mengurusi warga Eropa, khususnya Belanda, serta inlands gemeenten yang mengurusi penduduk Bumiputra yang tinggal di kampung-kampung. Pemberian status administrasi yang jelas terhadap kota berdampak pada kejelasan batas-batas kota. Sebelumnya, banyak kota yang tidak memiliki batas administrasi yang jelas, sehingga sulit diidentifikasi seberapa luas sebenarnya kota tersebut.
Administrasi Gemeente
Sampai tahun 1916 kota-kota yang sudah ditetapkan sebagai gemeente belum memiliki kepala pemerintahan definitif atau walikota. Kewenangan untuk mengurus gemeente pada saat itu masih dipegang oleh asisten residen. Pengangkatan walikota atau burgemeester baru dilakukan pada tahun 1916. Gemeente dilengkapi dengan lembaga yang namanya gemeenteraad. Lembaga tersebut kadang-kadang berperan mirip legislatif, karena merepresentasikan golongan etnis yang tinggal di kota bersangkutan, tetapi kadang-kadang berperan sebagai organisasi eksekutif karena dipimpin oleh burgemeester. Lembaga tersebut mutlak dibentuk karena undang-undang mensyaratkan bahwa gemeente harus bersifat kolegial yang dipimpin oleh burgemeester.
Keanggotaan gemeenteraad merepresentasikan golongan-golongan etnis yang tinggal di kota, antara lain golongan Eropa, Bumiputra, Tionghoa, dan Timur Asing. Namun demikian sifat keanggotaannya tidak mencerminkan representasi kuantitatif dari golongan etnis secara nyata, karena pada kenyataannya golongan Eropa selalu mendominasi keanggotaan gemeente raad di hampir semua kota yang berstatus gemeente. Keanggotaan gemeenteraad yang tidak mencerminkaan keterwakilan secara adil pernah diprotes oleh masyarakat kota Surabaya yang terhimpun dalam organisasi masyarakat setempat, Poesoera (Poetra Soerabaja). Protes tersebut dilakukan melalui sebuah tulisan yang cukup pedas yang dimuat dalam majalah Soeara Poesoera tahun 1937. Mereka menghendaki agar komposisi anggota gemeenteraad kota Surabaya diubah sesuai dengan rasio penduduk masing-masing golongan di kota itu.[7] Beberapa ahli berkebangsaan Belanda juga memprotes komposisi keanggotaan gemeenteraad yang tidak adil. Mereka antara lain Mr. Woesthof dan Snouck Hurgronje, yang menghendaki agar diberikan peranan yang lebih besar bagi penduduk Bumiputra untuk ikut serta dalam pemerintahan. Tujuannya adalah agar penduduk Bumiputra memperoleh pengalaman politik (politieke scholing) yang merupakan suatu keharusan bilamana Hindia Belanda diberikan hak untuk menjalankan pemerintahan yang bebas dalam lingkungan ikatan Kerajaan Belanda.
Dengan dibentuknya gemeente yang memiliki otoritas untuk mengelola kota, lembaga kemudian memperoleh hak yang melekat pada wewenang yang dimiliki. Salah satu hak yang diberikan kepadagemeente adalah hak untuk mengumpulkan pajak dari warga kota yang digunakan untuk membangun kota bersangkutan. Gemeente juga diberi hak untuk mengumpulkan dana dari usaha-usaha yang dialihkan oleh pemerintah pusat, seperti usaha pemotongan hewan (slacht’huis),pendirian pasar, penjualan dan penyewaan rumah dan tanah, dan lain-lain. Selain diberi hak, gemeente juga dibebani berbagai kewajiban yang harus dikerjakan. Beberapa kewenangan yang kemudian menjadi kewajiban dari gemeente antara lain:
- Perawatan, pembetulan, dan pembuatan jalan umum, jalan raya, lapangan, taman-taman, tanaman di tepi jalan, pembuatan dan pemeliharaan got, pemasangan rambu-rambu lalu-lintas, pembuatan dan pemasangan papan nama jalan, dan lain-lain yang berkaitan dengan jalan umum.
- Pemeliharaan kebersihan jalan raya dan penyiraman jalan jika musim kemarau.
- Penerangan jalan raya.
- Bertanggung jawab atas kebakaran dan menyediakan berbagai alat untuk keperluan pemadam kebakaran.
- Penyediaan dan pemeliharaan makam.
Berbagai kewajiban tersebut dibebankan kepada gemeente termasuk biaya yang harus ditanggung untuk keperluan tersebut. Pada awalnya semua gemeente tidak memiliki modal uang yang cukup untuk penyelenggaraan pemerintahan kota. Untuk keperluan tersebut pemerintah pusat hanya memberi modal awal yang tidak terlalu banyak. Sebagai contoh misalnya, Gemeente Surabaya hanya diberi modal sebesar F 284.300 per tahun dari pemerintah pusat.[8] Oleh karena itu, gemeente harus pandai-pandai mencari uang agar pemerintahan kota bisa berjalan dengan baik.
Kelengkapan gemeente antara lain burgemeester (walikota), gemeenteraad (yang anggotanya meliputi perwakilan golongan Eropa, Bumiputra, Tionghoa, dan Timur Asing), dinas-dinas gemeente(antara lain: bagian urusan umum (sekretariat), bagian pekerjaan umum, bagian perusahaan-perusahaan (bedrijven), dan urusan kesehatan umum). Wilayah gemeente dibagi-bagi menjadi wilayah yang lebih kecil yang disebut wijk (lingkungan pemukiman setingkat desa). Wijk dipimpin oleh wijkhoofd atau wijkmeester (kepala lingkungan). Pada tahun 1926 keluar Stadsgemeente Ordonnantie yang dimuat dalam Staatsblad No. 365. Ordonnantie tersebut merupakan ketentuan mengenai peningkatan status gemeente (otonomi terbatas) menjadi stadsgemeente (otonomi penuh). Salah satu perbedaannya adalah stadsgemeente diberi wewenang sepenuhnya untuk mengelola kota (otonomi penuh), dan diberi hak untuk membuat berbagai peraturan (perangkat hukum untuk mengatur kota). Oleh karena itu di dalam stadsgemeente diberi perangkat tambahan yang bernama College van Burgemeester en Wethouders, sedangkan gemeenteraad berubah menjadi stadsgemeenteraad dengan tetap dipimpin oleh burgemeester.
Berdasarkan Stadsgemeente Ordonnantie No. 365 tahun 1926, semua gemeente di Jawa pada tahun itu berubah statusnya menjadi stadsgemeente, sedangkan gemeente di luar Jawa baru berubah statusnya dua belas tahun kemudian, yaitu tahun 1938. Perubahan status gemeente menjadistadsgemeente di luar Jawa didasarkan pada Stadsgemeente Ordonnantie Buitengewesten No. 490Tahun 1938.
Pemberian status otonomi kepada kota-kota di Indonesia telah menyebabkan kota-kota dimaksud memiliki pijakan kuat dalam rangka membangun kotanya. Namun demikian pemberian status tersebut masih terbatas pada kawasan yang dihuni oleh orang-orang Eropa beserta masyarakat yang diberi status sederajat. Masyarakat Bumiputra penghuni kota tidak termasuk sebagai masyarakat yang mendapat layanan dari gemeente maupun stadsgemeente. Pengistimewaan terhadap kelompok tertentu di dalam kota telah menyebabkan kota-kota yang berstatus sebagaigemeente dan kemudian ditingkatkan menjadi stadsgemeente, dituduh sebagai “Europese enclave” atau wilayah kantong Eropa di Hindia Belanda. Perkecualian di kota Surabaya, karena pada tanggal 1 Januari 1931 di kota Surabaya terjadi perubahan yang cukup radikal dengan dihapuskannya inlands gemeenten, yang merupakan pemerintahan lokal untuk penduduk Bumiputra, berdasarkanStaatsblad No. 373 Tahun 1930. Dengan demikian maka desa-desa dan kampung-kampung yang terletak di dalam kawasan Stadsgemeente Surabaya dilebur (opheffing) ke dalam kawasan kota dan berubah statusnya menjadi wijk. Kota-kota mengalami perubahan yang radikal ketika tahun 1942 tiba-tiba tentara Jepang menyerbu Indonesia. Status kota-kota di Indonesia pun berubah dengan drastis pula.
________________________________________
[1] Mengenai sejarah pemerintahan di Indonesia sejak masa kolonial, lihat Josef Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1982)
[2] Susan Blackburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun, (Jakarta: Masup Jakarta, 2011), hlm. 78
[3] Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang sejak Kemerdekaan hingga Kemerdekaan, (Yogyakarta: Ombak, 2009)
[4] N.A., “Varia,” Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie 20, No. 1 Tahun 1858, hlm. 49-50
[5] Soetandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940),(Malang: Bayumedia, 2005), hlm. 13
[6] Data mengenai penetapan kota-kota menjadi gemeente dapat dilihat dalam Pauline Dublin Milone, Urban Areas in Indonesia: Administrative and Cencus Concepts, (Berkeley: Institute of International Studies, 1966), hlm. 108-1913
[7] Ali Toha, “Gemeenteraad,” dalam Soeara Poesoera, Tahun 1937.
[8] Berdasarkan Staatsblad No. 149 tahun 1906.
Pada masa pra-kolonial kota-kota di Indonesia masih berstatus sebagai ibukota pemerintah dan tempat kedudukan kepala pemerintahan tertinggi setempat. Pada masa pra-kolonial kota-kota bukanlah kawasan yang memiliki pemerintahan tersendiri yang otonom. Kota pada waktu itu merupakan bagian dari wilayah pemerintahan induknya. Kota kerajaan merupakan bagian dari wilayah kerajaan yang dipimpin oleh raja, kota kabupaten merupakan bagian dari wilayah kabupaten yang diperintah oleh bupati. Pada masa kolonial Belanda sudah mulai terjadi perubahan pada kota-kota di Indonesia. Selain berfungsi sebagai ibukota pemerintahan tradisional setempat, kota-kota di Indonesia juga menjadi pusat pemerintahan kolonial secara berjenjang.
Jenjang atau struktur pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia pada dasarnya hampir-hampir meniru jenjang atau struktur pemerintahan tradisional yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian mereka juga menggunakan kota-kota yang telah ada sebagai ibukota pemerintahan secara berjenjang pula. Sebagai ibukota negara, tempat berkedudukan gubernur jenderal, dipilih Batavia (pada masa pendudukan Jepang berubah nama menjadi Jakarta). Satu tingkat di bawahnya terdapat pemerintahan wilayah setingkat gubernur, yaitu gezaghebber, sebelum berdiri pemerintahan provinsi secara devinitif, yaitu tahun 1928. Di Jawa bagian timur terdapat gezaghebber van den oosthoek yang pada awalnya berkedudukan di kota Semarang, tetapi kemudian pindah ke kota Surabaya.
Pemerintahan gezaghebber hanya berlangsung pada masa VOC, yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda diganti dengan keresidenan. Kedudukan pemerintah keresidenan biasanya di kota-kota yang cukup besar. Keresidenan biasanya membawahi empat sampai enam kabupaten, misalnya keresidenan Surabaya membawahi Kabupaten Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Mojokerto. Kota tempat kedudukan residen berstatus sebagai ibukota keresidenan. Di tingkat kabupaten, pemerintah kolonial Belanda mengangkat asisten residen, yang biasanya juga orang Belanda, yang berkedudukan di ibukota kabupaten.[1] Mengacu pada struktur pemerintahan tersebut, pemerintah kolonial Belanda ternyata memanfaatkan kota-kota yang telah ada sebelumnya sebagai ibukota pemerintahan yang mereka bentuk. Tidak ada satupun kota di Indonesia yang dibangun dari awal untuk kepentingan pemerintah kolonial. Mereka hanya memanfaatkan kota yang telah ada, dan pada periode berikutnya mereka meningkatkan dan membangun kota-kota tersebut menjadi lebih sempurna. Di kota-kota itulah orang-orang Eropa yang baru datang tinggal dan membangun kehidupan baru yang berbeda dengan kondisi di tempat asal mereka di Eropa. Dari hari ke hari jumlah orang Eropa yang tinggal di kota-kota di Indonesia semakin banyak. Sebagian besar dari mereka adalah para pegawai pemerintah, tentara, serta para pengusaha.
Undang-Undang Desentralisasi 1903
Sejak dicabutnya larangan membawa istri bagi orang-orang Eropa yang akan menetap di Indonesia pada akhir abad ke-18, gelombang kedatangan orang Eropa ke Indonesia semakin tinggi. Mereka datang ke Indonesia dengan membawa serta istri mereka, serta membawa anak-anak mereka bagi yang sudah memiliki anak. Akibatnya, jumlah penduduk Eropa di Indonesia melonjak tajam, karena mereka kemudian juga beranak-pinak di Indonesia.[2] Anak-anak yang lahir di Indonesia dan beranjak dewasa kemudian juga membentuk keluarga-keluarga baru. Sebagian besar penduduk Eropa di Indonesia tinggal di kota, hanya sebagian kecil saja yang mau tinggal di pedesaan, yaitu para pegawai perkebunan. Sebagian besar dari mereka tinggal di kota-kota di Jawa. Kota-kota di luar Jawa yang ditinggali oleh orang Eropa dalam jumlah yang cukup banyak hanya kota-kota utama saja, antara lain di kota-kota yang kemudian berkembang menjadi ibukota provinsi, seperti Medan, Makassar, Palembang, Padang, Menado, dan lain-lain.
Orang-orang Eropa yang menetap di berbagai kota di Indonesia pada awalnya cukup enak menetap di kota tersebut. Mereka merasakan kehidupan yang nyaman di negara tropis yang hangat, karena sebelumnya mereka tinggal di negara sub-tropik yang kekurangan cahanya matahari. Bahkan mereka menyebut Indonesia sebagai mooi Indie atau Hindia yang cantik, yang nyaman sebagai tempat tinggal. Namun, lama kelamaan mereka merasakan bahwa kota-kota di Indonesia ternyata tidak se-teratur dan se-bersih kota-kota tempat mereka berasal di Eropa. Kota-kota di Indonesia merupakan kota yang kurang teratur, kawasan pemukiman penduduk Bumiputra sebagian besar masih semrawut dan tidak terurus. Bahkan sebagian besar orang Eropa menuduh perkampungan tempat tinggal penduduk Bumiputra sebagai sarang penyakit yang bisa menulari warga kota lainnya.[3] Kondisi kota yang kurang teratur menimbulkan ketidakpuasan di kalangan penduduk mereka. Menurut mereka penyebab ketidaknyamanan kota-kota di Indonesia adalah karena kota-kota tersebut tidak dikelola oleh sebuah lembaga otonom yang khusus mengelola kota dan diberi wewenang mengelola keuangan secara mandiri. Pada periode itu kota-kota berada di bawah kendali gubernur jenderal yang berkedudukan di Batavia sehingga kontrol terhadap kota sangat lemah. Anggaran untuk pemeliharaan kota juga sangat tergantung dengan alokasi anggaran yang ditentukan dari Batavia. Anggaran untuk pemeliharaan kota serta untuk melengkapi berbagai fasilitas yang diperlukan warga kota, terutama masyarakat Eropa, sangat tergantung dari belas kasihan gubernur jenderal. Sementara itu kekuasaan tradisional yang berada di tangan penguasa Bumiputra nyaris tidak pernah memikirkan kota.
Kondisi kota-kota di Indonesia kemudian memancing berbagai diskusi dan polemik di negeri Belanda pada pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1858, seorang penulis anonim dengan inisial N.A. menulis sebuah artikel pendek berjudul “Varia” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie 20, No. 1 Tahun 1858 yang berisi kritikan mengenai kondisi kota Batavia yang tidak nyaman. Dia menunjukkan bahwa persoalan di kota Batavia yang antara lain meliputi tidak adanya air bersih untuk mandi dan minum, tidak adanya lampu jalan pada malam hari, pemukiman orang-orang Tionghoa yang sembarangan di antara pemukiman orang-orang Belanda, dan tidak adanya supervisi (pengawasan) terhadap para pembantu rumah tangga Bumiputra merupakan dampak dari tidak adanya otoritas lokal yang mengurusi hal-hal tersebut. Ia meneruskan bahwa hal-hal sepele yang seharusnya ditangani oleh otoritas lokal selama ini dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang diikuti oleh kekacauan finansial dan administrasi. Kondisi tersebut tentu saja sangat tidak efektif sehingga memerlukan perbaikan dan pengembangan kota.[4]
Pada tingkat pemerintah di negeri Belanda, diskusi mengenai pemberian otoritas kepada warga lokal (kota) untuk mengelola kotanya sendiri juga mengemuka. Diskusi-diskusi selalu memunculkan pro dan kontra. Bagi yang kontra terhadap pemberian otonomi lokal, terutama kaum konservatif, mengatakan bahwa pemberian otoritas terhadap warga Eropa di kota-kota di Hindia Belanda tidak perlu dilakukan, karena toh orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda suatu saat akan pulang juga ke negeri induknya. Pendapat lain yang sejalan dengan penolakan tersebut mengatakan bahwa pemerintah kota yang otonom bisa jadi tidak akan cocok dengan kondisi di Hindia Belanda. Pendapat yang pro terhadap pemberian otonomi, salah satunya dari Cornest de Groot yang didukung oleh golongan liberal, mengatakan bahwa pemberian otonomi terhadap kota justru akan meringankan beban kerja residen, karena selama ini kota berada di bawah otoritas residen yang merupakan kepanjangan tangan gubernur jenderal. Namun pendapat yang pro pun memiliki kekhawatiran terhadap keberadaan penduduk Tionghoa, Arab dan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), serta penduduk Indonesia (Inlanders), apakah golongan penduduk non-Eropa tersebut nantinya akan diikutkan dalam dewan kota (gemeenteraad) atau tidak. Pada waktu itu ide yang berkembang di negeri Belanda adalah bahwa pemberian otonomi terhadap kota sebenarnya untuk kepentingan penduduk Eropa, khususnya penduduk Belanda.
Perdebatan tersebut terus berlangsung sampai akhir abad ke-19. Berbagai silang sengketa mengenai pemberian otonomi terhadap kota berakhir dengan dilakukannya konsultasi pemerintah di negeri Belanda dengan Raad van Indie. Secara umum mereka sepakat bahwa akan diberikan otonomi kepada kota-kota di Indonesia, namun pemberian otonomi tersebut tidak dipukul rata pada semua kota yang memenuhi syarat. Pemberlakuan berbeda akan diberikan kepada kota-kota di Jawa dengan kota-kota di luar Jawa yang memiliki karakter berbeda. Warga kota akan mendapatkan wakilnya dalam dewan kota yang akan bekerja membahas berbagai persoalan di kota di mana mereka tinggal, serta membangun kota agar menjadi tempat hunian yang nyaman dan lebih baik.
Pada tahun 1903, atas usul Idenburg diadakanlah perubahan terhadap pasal 68Regeringsreglement 1854 (semacam Undang-Undang Dasar bagi daerah jajahan Belanda) dengan penambahan pasal 68a, 68b, dan 68c, yang memberikan kesempatan untuk membentuk daerah-daerah otonom. Usulan tersebut disusul dengan diundangankannya Wet Houdende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie, yang lebih dikenal dengan nama Decentralisatie Wet 1903.[5] Undang-undang tersebut merupakan undang-undang otonomi pemerintah daerah pertama yang diberlakukan di Indonesia. Aturan teknis untuk melaksanakan Decentralisatie Wet 1903 keluarlahDecentralisatie Besluit 1905 dan Local Raden Ordonnantie. Decentralisatie Besluit tersebut mengemukakan tentang pokok-pokok pembentukan, susunan, kedudukan, dan wewenang Dewan/Raad dalam pengelolaan keuangan yang dipisahkan dari pemerintah pusat. Sedangkan Local Raden Ordonnantie merupakan aturan pelaksanaan yang menentukan struktur, status, kewenangan, dan pembentukan berbagai Raad, yaitu Gewestelijkeraad, Plaatselijkraad, dan Gemeenteraad. Dengan dasar berbagai undang-undang dan aturan tersebut maka kota-kota besar di Indonesia yang memenuhi syarat diubah statusnya menjadi kota otonom yang memiliki pemerintahan sendiri yang terpisah dengan pemerintah pusat tetapi tetap bertanggung jawab kepada pemerintah pusat (gubernur jenderal). Koto otonom tersebut diberi nama gemeente. Kota-kota besar kemudian ditetapkan sebagai gemeente, yaitu Batavia, Meester Cornelis (Jatinegara), Bogor (1905), Surabaya, Blitar, Pekalongan, Magelang, Kediri, Bandung (1906), Malang (1914), dan tidak lama kemudian diikuti dengan banyak kota lainnya.[6]
Sebagian besar kota yang ditetapkan sebagai gemeente adalah ibukota karesidenan, karena di kota-kota itulah berdiam penduduk Belanda dalam jumlah yang cukup besar. Mereka adalah para pegawai pemerintah, pegawai kantor dagang, serta pegawai perkebunan. Pembentukan gemeentepada awalnya memang bertujuan untuk melayani warga kota berkebangsaan Belanda, sedangkan untuk mengurus warga kampung Bumiputra pemerintah kolonial menyerahkan hal tersebut kepada penguasa tradisional, yaitu para bupati. Lembaga pemerintahan tradisional yang mengurusi kota diberi status inlands gemeenten. Dengan demikian maka di kota-kota yang berstatus sebagaigemeente terdapat dualisme pemerintahan, yaitu gemeente yang khusus mengurusi warga Eropa, khususnya Belanda, serta inlands gemeenten yang mengurusi penduduk Bumiputra yang tinggal di kampung-kampung. Pemberian status administrasi yang jelas terhadap kota berdampak pada kejelasan batas-batas kota. Sebelumnya, banyak kota yang tidak memiliki batas administrasi yang jelas, sehingga sulit diidentifikasi seberapa luas sebenarnya kota tersebut.
Administrasi Gemeente
Sampai tahun 1916 kota-kota yang sudah ditetapkan sebagai gemeente belum memiliki kepala pemerintahan definitif atau walikota. Kewenangan untuk mengurus gemeente pada saat itu masih dipegang oleh asisten residen. Pengangkatan walikota atau burgemeester baru dilakukan pada tahun 1916. Gemeente dilengkapi dengan lembaga yang namanya gemeenteraad. Lembaga tersebut kadang-kadang berperan mirip legislatif, karena merepresentasikan golongan etnis yang tinggal di kota bersangkutan, tetapi kadang-kadang berperan sebagai organisasi eksekutif karena dipimpin oleh burgemeester. Lembaga tersebut mutlak dibentuk karena undang-undang mensyaratkan bahwa gemeente harus bersifat kolegial yang dipimpin oleh burgemeester.
Keanggotaan gemeenteraad merepresentasikan golongan-golongan etnis yang tinggal di kota, antara lain golongan Eropa, Bumiputra, Tionghoa, dan Timur Asing. Namun demikian sifat keanggotaannya tidak mencerminkan representasi kuantitatif dari golongan etnis secara nyata, karena pada kenyataannya golongan Eropa selalu mendominasi keanggotaan gemeente raad di hampir semua kota yang berstatus gemeente. Keanggotaan gemeenteraad yang tidak mencerminkaan keterwakilan secara adil pernah diprotes oleh masyarakat kota Surabaya yang terhimpun dalam organisasi masyarakat setempat, Poesoera (Poetra Soerabaja). Protes tersebut dilakukan melalui sebuah tulisan yang cukup pedas yang dimuat dalam majalah Soeara Poesoera tahun 1937. Mereka menghendaki agar komposisi anggota gemeenteraad kota Surabaya diubah sesuai dengan rasio penduduk masing-masing golongan di kota itu.[7] Beberapa ahli berkebangsaan Belanda juga memprotes komposisi keanggotaan gemeenteraad yang tidak adil. Mereka antara lain Mr. Woesthof dan Snouck Hurgronje, yang menghendaki agar diberikan peranan yang lebih besar bagi penduduk Bumiputra untuk ikut serta dalam pemerintahan. Tujuannya adalah agar penduduk Bumiputra memperoleh pengalaman politik (politieke scholing) yang merupakan suatu keharusan bilamana Hindia Belanda diberikan hak untuk menjalankan pemerintahan yang bebas dalam lingkungan ikatan Kerajaan Belanda.
Dengan dibentuknya gemeente yang memiliki otoritas untuk mengelola kota, lembaga kemudian memperoleh hak yang melekat pada wewenang yang dimiliki. Salah satu hak yang diberikan kepadagemeente adalah hak untuk mengumpulkan pajak dari warga kota yang digunakan untuk membangun kota bersangkutan. Gemeente juga diberi hak untuk mengumpulkan dana dari usaha-usaha yang dialihkan oleh pemerintah pusat, seperti usaha pemotongan hewan (slacht’huis),pendirian pasar, penjualan dan penyewaan rumah dan tanah, dan lain-lain. Selain diberi hak, gemeente juga dibebani berbagai kewajiban yang harus dikerjakan. Beberapa kewenangan yang kemudian menjadi kewajiban dari gemeente antara lain:
- Perawatan, pembetulan, dan pembuatan jalan umum, jalan raya, lapangan, taman-taman, tanaman di tepi jalan, pembuatan dan pemeliharaan got, pemasangan rambu-rambu lalu-lintas, pembuatan dan pemasangan papan nama jalan, dan lain-lain yang berkaitan dengan jalan umum.
- Pemeliharaan kebersihan jalan raya dan penyiraman jalan jika musim kemarau.
- Penerangan jalan raya.
- Bertanggung jawab atas kebakaran dan menyediakan berbagai alat untuk keperluan pemadam kebakaran.
- Penyediaan dan pemeliharaan makam.
Berbagai kewajiban tersebut dibebankan kepada gemeente termasuk biaya yang harus ditanggung untuk keperluan tersebut. Pada awalnya semua gemeente tidak memiliki modal uang yang cukup untuk penyelenggaraan pemerintahan kota. Untuk keperluan tersebut pemerintah pusat hanya memberi modal awal yang tidak terlalu banyak. Sebagai contoh misalnya, Gemeente Surabaya hanya diberi modal sebesar F 284.300 per tahun dari pemerintah pusat.[8] Oleh karena itu, gemeente harus pandai-pandai mencari uang agar pemerintahan kota bisa berjalan dengan baik.
Kelengkapan gemeente antara lain burgemeester (walikota), gemeenteraad (yang anggotanya meliputi perwakilan golongan Eropa, Bumiputra, Tionghoa, dan Timur Asing), dinas-dinas gemeente(antara lain: bagian urusan umum (sekretariat), bagian pekerjaan umum, bagian perusahaan-perusahaan (bedrijven), dan urusan kesehatan umum). Wilayah gemeente dibagi-bagi menjadi wilayah yang lebih kecil yang disebut wijk (lingkungan pemukiman setingkat desa). Wijk dipimpin oleh wijkhoofd atau wijkmeester (kepala lingkungan). Pada tahun 1926 keluar Stadsgemeente Ordonnantie yang dimuat dalam Staatsblad No. 365. Ordonnantie tersebut merupakan ketentuan mengenai peningkatan status gemeente (otonomi terbatas) menjadi stadsgemeente (otonomi penuh). Salah satu perbedaannya adalah stadsgemeente diberi wewenang sepenuhnya untuk mengelola kota (otonomi penuh), dan diberi hak untuk membuat berbagai peraturan (perangkat hukum untuk mengatur kota). Oleh karena itu di dalam stadsgemeente diberi perangkat tambahan yang bernama College van Burgemeester en Wethouders, sedangkan gemeenteraad berubah menjadi stadsgemeenteraad dengan tetap dipimpin oleh burgemeester.
Berdasarkan Stadsgemeente Ordonnantie No. 365 tahun 1926, semua gemeente di Jawa pada tahun itu berubah statusnya menjadi stadsgemeente, sedangkan gemeente di luar Jawa baru berubah statusnya dua belas tahun kemudian, yaitu tahun 1938. Perubahan status gemeente menjadistadsgemeente di luar Jawa didasarkan pada Stadsgemeente Ordonnantie Buitengewesten No. 490Tahun 1938.
Pemberian status otonomi kepada kota-kota di Indonesia telah menyebabkan kota-kota dimaksud memiliki pijakan kuat dalam rangka membangun kotanya. Namun demikian pemberian status tersebut masih terbatas pada kawasan yang dihuni oleh orang-orang Eropa beserta masyarakat yang diberi status sederajat. Masyarakat Bumiputra penghuni kota tidak termasuk sebagai masyarakat yang mendapat layanan dari gemeente maupun stadsgemeente. Pengistimewaan terhadap kelompok tertentu di dalam kota telah menyebabkan kota-kota yang berstatus sebagaigemeente dan kemudian ditingkatkan menjadi stadsgemeente, dituduh sebagai “Europese enclave” atau wilayah kantong Eropa di Hindia Belanda. Perkecualian di kota Surabaya, karena pada tanggal 1 Januari 1931 di kota Surabaya terjadi perubahan yang cukup radikal dengan dihapuskannya inlands gemeenten, yang merupakan pemerintahan lokal untuk penduduk Bumiputra, berdasarkanStaatsblad No. 373 Tahun 1930. Dengan demikian maka desa-desa dan kampung-kampung yang terletak di dalam kawasan Stadsgemeente Surabaya dilebur (opheffing) ke dalam kawasan kota dan berubah statusnya menjadi wijk. Kota-kota mengalami perubahan yang radikal ketika tahun 1942 tiba-tiba tentara Jepang menyerbu Indonesia. Status kota-kota di Indonesia pun berubah dengan drastis pula.
________________________________________
[1] Mengenai sejarah pemerintahan di Indonesia sejak masa kolonial, lihat Josef Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1982)
[2] Susan Blackburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun, (Jakarta: Masup Jakarta, 2011), hlm. 78
[3] Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang sejak Kemerdekaan hingga Kemerdekaan, (Yogyakarta: Ombak, 2009)
[4] N.A., “Varia,” Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie 20, No. 1 Tahun 1858, hlm. 49-50
[5] Soetandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940),(Malang: Bayumedia, 2005), hlm. 13
[6] Data mengenai penetapan kota-kota menjadi gemeente dapat dilihat dalam Pauline Dublin Milone, Urban Areas in Indonesia: Administrative and Cencus Concepts, (Berkeley: Institute of International Studies, 1966), hlm. 108-1913
[7] Ali Toha, “Gemeenteraad,” dalam Soeara Poesoera, Tahun 1937.
[8] Berdasarkan Staatsblad No. 149 tahun 1906.
________________________________________
Sumber: Basundoro
Post a Comment